Kab Pekalongan, Suarakpk.com – Warga Desa Bantarkulon, yang mayoritas berprofesi sebagai petani, tengah dibuat resah oleh dugaan penyalahgunaan dana desa dalam program pengendalian hama. Program yang diharapkan membantu membasmi hama babi hutan ini justru diduga tidak terlaksana dengan transparan dan berpotensi fiktif.
Saat dikonfirmasi media, jumat (01/11/24) MH, seorang pemburu hama babi yang telah bermitra dengan Pemerintah Desa (Pemdes) Bantarkulon selama tiga setengah tahun, mengungkapkan bahwa ia merasa dirugikan oleh program tersebut. Ia menjelaskan bahwa pihak desa mengklaim telah membeli anjing pemburu miliknya dengan anggaran desa sebesar Rp 22 juta pada 2021, padahal ia tidak pernah menerima dana tersebut.
“Saya tidak pernah mendapatkan uang itu. Mereka hanya mengklaim bahwa anjing-anjing saya dibeli menggunakan dana desa,” ungkap MH.
Sementara dalam perjanjian awal, MH akan menerima upah sebesar Rp20 juta per tahun. Namun, hingga saat ini ia hanya menerima sebagian kecil, yaitu Rp2 juta, Rp3 juta, dan Rp5 juta, yang baru dibayarkan setelah masalah ini mencuat.
“Jumlah itu jauh dari kesepakatan awal,” jelasnya.
Saat dikonfirmasi, S selaku Kepala Desa Bantarkulon, awalnya membantah bahwa dana desa digunakan untuk program ini. Namun, pernyataan berbeda muncul dari A selaku Bendahara Desa, yang mengakui adanya alokasi dana desa selama dua tahun untuk program pengendalian hama.
“Program ini memang salah, karena tidak ada dasar hukumnya,” kata Bendahara.
Menurut A, alokasi dana sebesar Rp15 juta per tahun telah dialokasikan untuk program tersebut. Namun, Sekretaris Desa, memberikan data berbeda, dengan menyebutkan anggaran sebesar Rp7,5 juta pada 2023 dan Rp15 juta pada 2024.
MH juga mengungkapkan adanya upaya dari pemdes untuk mengelabui tim Inspektorat pada 2021.
“Mereka meminta saya membawa anjing pemburu untuk difoto, seolah-olah anjing-anjing itu hasil pengadaan desa. Bahkan, saya diminta mengaku bahwa anjing-anjing itu sudah mati jika ada yang menanyakan. Padahal, anjing-anjing itu masih saya rawat hingga sekarang karena memang milik pribadi saya,” jelasnya.
Kasus ini memicu keresahan di kalangan warga Desa Bantarkulon. Mereka menuntut transparansi dan akuntabilitas terkait penggunaan dana desa, khususnya dalam program yang diduga fiktif ini.
“Warga berharap ada tindakan tegas dari pihak berwenang agar penyalahgunaan dana desa dapat dihentikan dan tidak terulang kembali,” ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.
Aturan Hukum yang Mengatur Dana Desa
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa:
Pasal 26 Ayat (4): Kepala Desa bertanggung jawab atas penggunaan anggaran desa untuk kepentingan masyarakat, termasuk pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan.
Pasal 72: Dana desa diperoleh dari APBN dan harus digunakan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Permendes) Nomor 7 Tahun 2021:
Mengatur prioritas penggunaan dana desa, termasuk untuk ketahanan pangan, tetapi harus didasarkan pada perencanaan dan pelaksanaan yang sesuai dengan hukum.
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021:
Menegaskan mekanisme pengelolaan dana desa, termasuk pelaporan dan pertanggungjawaban yang wajib dilakukan oleh pemerintah desa.
Potensi Tindak Pidana dalam Kasus Ini
Jika terbukti adanya penyalahgunaan dana desa, berikut tindak pidana yang dapat dikenakan:
Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor):
Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001:
"Setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar."
Pasal 3: Penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara juga diancam dengan hukuman serupa.
Tindak Pidana Pemalsuan Data:
Pasal 263 KUHP: Pemalsuan dokumen atau data yang digunakan untuk mengelabui pihak berwenang dapat dipidana penjara hingga 6 tahun.
Tindak Pidana Penipuan:
Pasal 378 KUHP: Jika terbukti ada unsur penipuan dalam penggunaan dana desa, pelaku dapat dipidana dengan penjara paling lama 4 tahun.
Mekanisme Pengawasan dan Penindakan
Inspektorat Daerah: Berwenang melakukan audit terhadap penggunaan dana desa untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan.
Kejaksaan dan Kepolisian: Jika ditemukan bukti penyalahgunaan dana desa, kasus dapat dilaporkan ke kejaksaan atau kepolisian untuk proses hukum lebih lanjut.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): Jika skala penyalahgunaan besar dan melibatkan kerugian negara signifikan, KPK dapat mengambil alih penanganan kasus.
Penyalahgunaan dana desa merupakan tindak pidana serius yang dapat merugikan masyarakat secara luas. Penting bagi semua pihak, termasuk warga, untuk mengawal transparansi penggunaan dana desa dan memastikan pengelolaan keuangan dilakukan sesuai hukum.
(AR/Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar