Jakarta, Suarakpk.com - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), Kamis (31/10/2024).
Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Selain itu, ada dua orang perseorangan yang turut mengajukan perkara tersebut, yaitu Mamun dan Ade Triwanto yang berprofesi sebagai buruh.
Ada tujuh klaster dalil yang meliputi penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pekerja alih daya (outsourcing), cuti, upah dan minimum upah, pemutusan hubungan kerja (PHK), uang pesangon (UP), uang penggantian hak upah (UPH), dan uang penghargaan masa kerja (UPMK).
Berikut Suarakpk..com merangkum poin-poin penting dari putusan MK terkait uji materi UU Cipta Kerja:
1.Pembuatan UU Ketenagakerjaan baru
MK meminta agar pemerintah dan DPR membentuk Undang-undang Ketenagakerjaan baru dan mengeluarkan klaster ketenagakerjaan dari UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
“Dengan UU baru tersebut, masalah adanya ancaman ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan materi/substansi UU ketenagakerjaan dapat diurai, ditata ulang, dan segera diselesaikan," kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dikutip dari MKRI.
"Selain itu, sejumlah materi/substansi peraturan perundang-undangan yang secara hierarki di bawah undang-undang, termasuk dalam sejumlah peraturan pemerintah, dimasukkan sebagai materi dalam undang-undang ketenagakerjaan,” sambungnya.
Dalam hal ini, MK memberikan waktu dua tahun bagi pembentuk undang-undang untuk membuat UU Ketenagakerjaan baru yang substansinya menampung materi yang ada di UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No 6/2023, dan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi.
MK juga mengingatkan agar pembuatan UU tersebut harus melibatkan partisipasi aktif serikat pekerja maupun buruh.
2. Kontrak PKWT paling lama 5 tahun
Poin kedua, MK menetapkan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) hanya bisa berlaku selama lima tahun. Adapun setelah masa kerja tersebut habis, perusahaan tidak bisa memperpanjang kontrak PKWT.
“Jika dalam jangka waktu awal PKWT telah ditentukan 5 (lima) tahun maka pengusaha tidak dapat lagi memperpanjang jangka waktu PKWT tersebut karena hal itu, selain tidak sejalan dengan hakikat PKWT, juga melanggar hak-hak pekerja/buruh,” ujar Enny .
Putusan MK terkait masa kerja PKWT maksimal lima tahun dan tidak bisa diperpanjang merupakan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 56 ayat (3) Pasal 81 angka 12 UU Nomor 6 Tahun 2023.
Untuk diketahui, Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 berbunyi, “Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak”.
Ketua MK Suhartoyo mengatakan, Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam pertimbangannya, MK juga menegaskan, perjanjian kerja dibuat antara pihak pengusaha dan pekerja. Meski begitu, kedudukan antara pengusaha dan pekerja seimbang. MK juga menilai, pekerja dalam posisi yang lemah dalam pembuatan perjanjian kerja. Karena alasan itulah, hasil putusan MK UU Cipta Kerja meminta jangka waktu pekerja yang menandatangani PKWT supaya diatur di UU, bukan peraturan turunan atau perjanjian lainnya.
.3 Jenis outsourcing dibatasi Poin ketiga, MK juga meminta supaya dalam UU yang baru mengatur tentang jenis dan bidang pekerjaan alih daya (outsourcing) demi perlindungan hukum yang adil bagi pekerja.
Dengan demikian diharapkan dapat mempertegas tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam praktik outsourcing yang kerap memicu konflik/sengketa pekerja dengan perusahaan.
4. TKI harus lebih diutamakan dari TKA MK membatalkan beleid multitafsir yang tidak mengatur pembatasan secara tegas soal masuknya tenaga kerja asing (TKA). Dalam putusannya, MK menyebut Pasal 42 ayat (4) dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap. "Tenaga Kerja Asing (TKA) dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memperhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia,” tutur Suhartoyo.
5.Upah harus mengandung komponen hidup layak
MK meminta pasal soal pengupahan harus "mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua".
Upah harus mengandung komponen hidup layak UU Ciptaker menghilangkan penjelasan mengenai komponen hidup layak pada pasal soal penghasilan/upah yang sebelumnya diatur UU Ketenagakerjaan. “Berkenaan dengan norma baru tersebut, menurut Mahkamah tetap diperlukan adanya penjelasan maksud ‘penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’ karena penjelasan tersebut merupakan bagian penting dalam pengupahan," kata Ketua MK Suhartoyo, dikutip dari suarakpk.com ,
6. Upah minimum sektoral berlaku lagi UU Cipta Kerja sebelumnya telah menghapus ketentuan upah minimum sektoral (UMS). MK menilai, kebijakan itu dalam praktiknya sama saja negara tak memberi perlindungan yang memadai bagi pekerja. MK menegaskan, UMS mesti diberlakukan karena pekerja di sektor-sektor tertentu memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda, tergantung tuntutan pekerjaan yang lebih berat atau spesialisasi yang diperlukan. Sehingga, dihapusnya UMS dinilai bisa mengancam standar perlindungan pekerja.
7. PHK baru bisa dilakukan usai putusan inkrah MK menegaskan, perundingan bipartit terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) harus dilakukan secara musyawarah mufakat. Apabila perundingan itu mentok, MK menegaskan bahwa PHK "hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap" sesuai ketentuan dalam Undang-undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
8. Bisa libur 2 hari seminggu MK pun mengembalikan alternatif bahwa terdapat opsi libur 2 hari dan 5 hari kerja seminggu untuk para pekerja. Sebelumnya, aturan dalam UU Cipta Kerja hanya memberi jatah libur 1 hari seminggu untuk pekerja tanpa opsi alternatif libur 2 hari. Padahal, UU Ketenagakerjaan sejak awal menyediakan opsi libur 2 hari seminggu untuk pegawai yang dibebaskan berdasarkan produktivitas masing-masing perusahaan
( Endar Wiharjo & berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar