Kepala Dinas Pendidikan Boyolali Terkesan Abaikan PP No 17 Tahun 2010 Dan Permendikbud No 50 Tahun 2022 - SUARAKPK

BERITA HARI INI

Home Top Ad


Iklan


 

Iklan


 

Iklan


 

HUT RI ke 79


 

HUT SUARAKPK Ke 15


 

Penghargaan dari Kedubes Maroko


 

14 September 2024

Kepala Dinas Pendidikan Boyolali Terkesan Abaikan PP No 17 Tahun 2010 Dan Permendikbud No 50 Tahun 2022

BOYOLALI, suarakpk.com – Menanggapi atas pemberitaan Dugaan Kongkalikong Kepsek SMP N 1 Simo Dengan Perusda Boyolali hingga Jutaan Rupiah, Kepala Dinas Pendidikan Boyolali, Supana,S.Pd,M.Pd. Senin (9/9/24) menilai lazimnya sebuah proses pembelajaran ketika setelah PPDB, menurutnya, sekolah ada pengadaan seragam, karena anak sekolah harus seragam atau buku.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, beberapa wali murid mengeluhkan, dan merasa terbebani jika harus membayar bahan seragam anaknya dengan harga awal Rp.1.907.800 di satu tempat saja, orang tua murid tidak diberikan pilihan lainnya, dan saat mengambil seragam dengan atribut menjadi Rp.1.648.300, sedangkan untuk Lembar Kerja Siswa (LKS) juga diwajibkan dengan nilai Rp.350.000, untuk para siswa didik baru.

“Jadi kalau panjenegan mau konfirmasi itu sebetulnya yang pas itu langsung sama kepala sekolah, kalau Kepala Dinas itu kan jauh wilayahnya, kami dan pihak dinas tidak pernah mengintruksikan untuk memilih kepada kelompok atau marketing tertentu, jadi itu mutlak pada kepala sekolah, selaku yang pegang otoritas satuan pendidikan, kepala sekolah itukan mempunyai irama sendiri-sendiri untuk pengadaan barang,” jelasnya.

Dikatakan Supana, bahwa perusda juga dituntut untuk pendapatan daerah sehingga dibenarkan menggunakan sekolah itu sebagai sebagian dari lahan untuk berbisnis.

“Tapi kalau perusda ke sekolah kami tidak tahu, jadi kami tidak tahu sekolah se - Kabupaten Boyolali, bermitranya dengan siapa untuk pengadaan buku dan seragam, kami tidak intervensi ke situ, itu murni di pihak kepala sekolah selaku pemegang otoritas di satuan Pendidikan,” katanya.

Lebih lanjut, Supana mengungkapkan, kalau benar dan salah harus dilihat orjenji permasalahan.

“Kalau sekolah butuh seragam dan anak-anak mau membali itu gak ada salahnya, unsur salahnya itu kalau di paksa dan pembagian fee, itu  ada unsur kesalahan, Kalau sekolah kan tidak masuk wilayah bisnis, kalau memang pihak ke tiga langsung menawarkan ke wali murid, ketika wali murid memilih dan mengambil pilihan barang yang ditawarkan itu salahnya dimana, kecuali sekolah yang jualan sudah beda perkara, kami tidak mungkin intervensi perusda, karena perusda bukan wilayah saya dan wali murid juga punya hak untuk mengiyakan dan menolak karena tidak ada paksaan," ungkapnya.

Supana menuturkan, bahwa ada barang-barang yang disediakan pemerintah melalui dana BOS dan ada barang-barang yang tidak terjangkau oleh dana BOS.

“Jadi BOS itu adalah Bantuan Oprasional Sekolah bukan Biaya Oprasional Sokolah, ketika itu sifatnya bantuan oprasional dapat dipastikan semua kebutuhan tidak dapat tercover dari situ semua, ketika barang-barang itu tidak tercover dari BOS, anak-anak membeli sendiri dan ketika harus membeli sendiri mungkin ada tawaran dari pihak ke tiga, BOS itu besarnya tidak seberapa, kalau di yayasan itu kalau njenegan tahu, misalnya yayasan Islam terpadu, Alabidin, itu anak sekolah bayarnya Rp.600.000 tidak masalah, tapi kalau Sekolah Negeri beli LKS saja kadang dimasalahkan, padahal sama-sama sekolah SMP Lho, di sekolah yayasan itu berapapun dia bayar tidak pernah dipermasalahkan, tapi kalau unsur pemerintah padahal sama-sama mendidik anak se usia SMP gitu lho,” ujarnya.

Ditambahkan Supana, itu masalahnya ada LKS atau buku yang bisa tercover dari BOS ada yang tidak, menurutnya, kalau lebih tahu tentang Arkas tentang penggunaan Dana BOS di sekolah itu sekolah lebih tahu.

“Jadi panjenengan bisa tanya BOSnya dapat berapa dan untuk apa, kalau saya tidak mungkin hafal Dana BOS satu Kabupaten, ketika nanti sudah ada anggarannya untuk LKS di BOS kok masih disuruh beli, itu berarti kesalahan dan ketika memang belum tercover di BOS, anak-anak beli dan sekali lagi dalam teori orang sekolah itu suka rela, tapi biasanya orang tua menyekolahkan anak kalau anaknya tidak punya buku seperti temanya biasanya wali murit malu,” terangnya.

Saat di tanya terkait pembelian barang, apakah wali murid langsung kominikasi/menghubunggi perusda tanpa perantara?

“Oh tidak, selama saya di sini, perusda itu setiap PPDB sudah biasa menawari ke semua sekolah, itu sudah berjalan lama, mungkin kepala dinas sebelum saya, sudah seperti itu, lha itu pangsa pasar, mungkin bagi perusda cari untung merupakan arena yang bagus tho,” jawab Supana.

“Ini kira-kira saja lho, kalau pastinya kepala sekolah yang tahu, paling perusda bilang mohon izin menawarkan barang ini analogi lho, tepatnya kepala sekolah yang tahu,” lanjutnya.

Ditambahkan Supana, ketika sekolah butuh seragam dan ada pihak ketiga yang menawarkan, tidak serta merta harus menolak, namanya itu penawaran antara wali siswa dengan perusda.

“Misalkan kalau mau ambil ya monggo sekolah tidak bisa apa-apa juga, kalau perantara dinas jelas tidak, kalau panjenegan tanya kepala Sekolah pasti dijawab dan logikanya saja, kalau dalam tahun ajaran membuat pedagang kesempatan, sedangkan perusda milik daerah, mungkin menawarkan barang juga ke sekolahan, cari untung juga logis, sedangkan perusda juga menggaji karyawan dan mencarikan pendapatan ke APBD karena di situ juga ada PAD entah itu air minum dan lain-lain,” urainya.

Ditandaskan Supana, bahwa selama dirinya satu tahu menjabat tidak ada pembicaraan apa-apa berarti tidak ada masalah, kalau sekolah semata-mata butuh perform, namanya sekolah kalau bisa bahan dan warnanya sama.

“Ya kalau masalah mahal dan murah, seharusnya ada pembanding, kan itu masalahnya, yang tahu mahal dan tidak itu pedagang kalau saya tidak tahu,” tandasnya.

Supana menegaskan, bahwa Dinas tidak masuk ke kepala sekolah selaku top menejer sekolah, yang bertanggung jawab dalam satuan pendidikan, mekanisme yang dilalui mereka bekerja sama dengan pihak ketiga dan pihak ketiga itu mana Dinas juga tidak tahu.

“Entah itu toko atau perusda, semua itu kewenangan pihak sekolah, kalau itu dianggap unsur pelanggaran, menurut saya, ngaklah, itu beli dan yang menyepakati wali siswa kepada rekanan (perusda/toko), yang jadi masalah itu kalau kepala sekolah ikut bermain dan dapat fee, itu yang jadi masalah menurut saya, pasti dinas mengambil sikap,” pungkasnya.

Hingga berita ini ditayangkan, suarakpk.com belum berhasil mengkonfirmasi Saber Pungli Polres dan Kejari Boyolali. Tunggu hasil investigasi berikutnya.

Untuk diketahui, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 17 Tahun 2010 pasal 181 dan 198, baik pendidikan, tenaga pendidik, dewan pendidikan, maupun komite sekolah/madrasah dilarang untuk menjual bahan atau baju seragam.
Berikut isi pasal 181 PP No 17 Tahun 2010:
Pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang:
a. menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan;
b. memungut biaya dalam memberikan bimbingan belajar atau les kepada peserta didik di satuan pendidikan;
c. melakukan segala sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung yang mencederai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik;
d. melakukan pungutan kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berikut isi pasal 198 PP No 17 Tahun 2010:
Dewan pendidikan dan/atau komite sekolah/madrasah, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang:
a. menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan;
b. memungut biaya bimbingan belajar atau les dari peserta didik atau orang tua/walinya di satuan pendidikan;
c. mencederai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik secara langsung atau tidak langsung;
d. mencederai integritas seleksi penerimaan peserta didik baru secara langsung atau tidak langsung;
e. melaksanakan kegiatan lain yang mencederai integritas satuan pendidikan secara langsung atau tidak langsung.
Lebih lanjut dalam Permendikbud No. 50 Tahun 2022 pasal 12, diatur bahwa sekolah tidak boleh mengatur kewajiban dan/atau memberikan pembebanan kepada orangtua atau wali peserta didik untuk membeli pakaian seragam sekolah baru. Ketentuan ini berlaku baik setiap kenaikan kelas dan atau pada penerimaan peserta didik baru.
Selain itu, bahwa pengadaan pakaian seragam sekolah merupakan tanggung jawab orang tua atau wali siswa, bukan tanggung jawab sekolah atau madrasah. Aturan ini tertuang dalam Permendikbud No 50 Tahun 2022 pasal 12 ayat 1.
Pada pasal 12 ayat 2 Permendikbud tersebut, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, sekolah, dan masyarakat maksimal dapat membantu pengadaan pakaian seragam sekolah dan pakaian adat bagi peserta didik. Bantuan pengadaan pakaian seragam ini diprioritaskan bagi siswa yang kurang mampu secara ekonomi.
Selain menjual bahan seragam, sekolah juga dilarang memperjualbelikan buku lembaran kerja siswa (LKS) dan seragam. Jika terbukti melanggar, sekolah akan mendapatkan sanksi administrasi hingga pidana.

Sesuai ketentuan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (permendikbud) Nomor 45 Tahun 2014, pengadaan seragam sekolah diusahakan sendiri oleh orang tua siswa. Serta tidak boleh dikaitkan dengan penerimaan peserta didik baru (PPDB), maupun kenaikan kelas.

Jika memperhatikan adanya kewajiban pembelian seragam dan LKS dengan merujuk aturan yang telah ada, maka, SMP N 1 Simo dapat dikategorikan sebagai Pungutan Liar (Pungli). Sehingga hal tersebut dapat dikenakan sanksi administrasi hingga pidana.

Sebagaimana dijelaskan, Hukuman pidana bagi pelaku pungli bisa dijerat dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Pidana Korupsi, khususnya Pasal 12 E dengan ancaman hukuman penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun. Pelaku pungli juga bisa dijerat dengan Pasal 368 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal sembilan bulan. Pelaku pungli berstatus PNS dengan dijerat dengan Pasal 423 KUHP dengan ancaman maksimal enam tahun penjara.

Sedangkan hukuman administratif bagi pelaku pelanggaran maladministrasi termasuk bagi pelaku pungli bisa dikenakan Pasal 54 hingga Pasal 58 dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, penurunan pangkat, penurunan gaji berkala, hingga pelepasan dari jabatan.

Maka, sebenarnya, pemberantasan pungli di sekolah dapat dilakukan dengan dua cara yakni pencegahan dan penindakan. Pencegahan dapat dilakukan dengan menempuh berbagai cara seperti melakukan sosialisasi praktik-praktik pungli di sekolah dan upaya pencegahannya, menegakkan norma-norma kesusilaan di sekolah, mempraktikkan tata kelola sekolah berintegritas, menghindari penyimpangan anggaran, dan mengupayakan transparansi pengelolaan anggaran sekolah. Sedangkan Penindakan dilakukan dengan cara menjerat para pelaku pungli sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Tim/red)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HUT SUARAKPK Ke 9 (2018)