SURAKARTA, suarakpk.com – Malam satu suro masih dianggap keramat oleh masyarakat Jawa. Pasalnya, sebagian besar masyarakat Jawa masih mempercayai tradisi, bahwa malam satu Suro merupakan malam istimewa yang sering dianggap mistis dan keramat sekaligus penuh berkah dan sakral.
Banyak tradisi unik yang dilakukan untuk memperingati Tahun Baru Jawa sekaligus Islam ini. Seperti yang sering dilakukan di lingkungan Keraton Surakarta dan Yogyakarta, beragam ritual dan kirab digelar. Ramai dan semarak, hingga warga masyarakatpun rela harus berdesak-desakan, hanya untuk dan berebut kotoran kebo bule. Kotoran kebo bule dianggap dapat membawa berkah dan keselamatan.
Menurut tokoh budaya Nusantara, KP.Dr.H.Andi Budi Sulistijianto,SH,.M.Ikom, bahwa penyambutan malam satu suro tersebut, sebagai upaya perenungan diri dari laku hidup satu tahun yang telah terlewati.
“Oleh karenanya,
ritual adat yang dilakukan selama bulan suro, lebih banyak sebagai bentuk
perenungan dan mawas diri. Melakukan pendekatan kepadaTuhan Yang Maha Esa, agar
tahun yang akan dilewati masyarakat Jawa, senantiasa diberikan kekuatan dan
kesehatan, jauh dari segala marabahaya,” ujar Gus Andi saat ditemui di Padepokan Sethonagoro, Salatiga. Jumat (29/7/2022).
Dituturkan KP.Dr.H.Andi Budi Sulistijianto,SH,.M.Ikom yang sering disapa Gus Andi, bahwa bagi masyarakat Jawa sendiri, bulan suro merupakan bulan keramat, dikarenakan segala upacara adat dan tradisi yang berkaitan dengan nilai-nilai ketuhanan lebih banyak dilakukan pada bulan suro.
“Segala tradisi hajatan dan suka ria, disarankan oleh leluhur-leluhur kita, agar jangan digelar pada bulan suro,” tuturnya.
Gus Andi mengatakan, bahwa, larangan tersebut, bukan berarti bulan sura tidak baik untuk menyelenggarakan hajatan.
“Akan tetapi di dalam melakukan perenungan, hendaknya kita menjauhkan diri dari segala keinginan nafsu. Sehingga kita akan memiliki rasa ikhlas,” katanya.
Dijelaskan Gus Andi, bahwa selama bulan suro, aktifitas kerohanian kerap dilakukan di tempat-tempat keramat, dengan alasan, tempat tersebut diyakini memiliki energy spiritual alam semesta.
“Dalam perenungan di bulan suro, di tempat-tempat keramat, masyarakat jawa, dapat menyatu bersama alam semesta. Memahami dan merasakan betapa besar nikmat Allah yang sudah diberikan kepada kita semua,” jelasnya.
Sementara, menanggapi penggunaan sesaji dalam upacara adat, menurut Gus Andi, merupakan bentuk simbol dan bahasa rasa yang disampaikan melalui makna-makna di dalamnya.
Diungkapkan Gus Andi yang juga Sentana Dalem Rayi Inggil, bahwa kirab malam satu suro yang diselenggarakan oleh Keraton Kasunanan Surakarta, sebagai upaya mengungkapkan wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
“Tradisi malam satu Suro, bermula saat zaman Sultan Agung. Saat itu, masyarakat umumnya mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwariskan dari tradisi Hindu. Sementara Kesultanan Mataram Islam sudah menggunakan sistem kalender Hijriah (Islam). Sultan Agung yang ingin memperluas ajaran Islam di Tanah Jawa berinisiatif memadukan kalender Saka dengan kalender Hijriah menjadi kalender Jawa,” ungkapnya.
Penyatuan kalender ini, lanjut Gus Andi, dimulai sejak Jumat Legi bulan Jumadil Akhir tahun 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi. Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Suro, bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriyah
“Tradisi malam satu Suro menitikberatkan pada ketentraman batin dan keselamatan. Karenanya, pada malam satu Suro biasanya selalu diselingi dengan ritual pembacaan doa dari semua umat yang hadir merayakannya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah dan menangkal datangnya marabahaya,” ujarnya.
Selain itu, terdapat pula tradisi mubeng beteng atau mengelilingi benteng keraton. Menurut Gus Andi, bahwa dalam Suran : Antara Kuasa Tradisi dan Ekspresi Seni, konsep mubeng beteng kemungkinan besar terpengaruh oleh pradaksina dan prasawya dalam Hindu dan Buddha. Pradaksina adalah ritual berjalan kaki mengeliling benteng sesuai arah jarum jam. Sedangkan prasawya yaitu ritual berjalan kaki mengelilingi benteng kebalikan arah jarum jam.
“Jika orang berjalan dengan menggunakan pradaksina, maka secara simbolis dia memohon kebutuhan lahiriah. Jika berjalan dengan menggunakan prasawya, maka secara simbolis lebih bersifat ilmu kesempurnaan hidup (batiniah),” ucapnya.
Diungkapkan Gus Andi, bahwa ada banyak cara dilakukan masyarakat Jawa untuk menyambut satu Suro. Tapi umumnya melakukan “laku prihatin” untuk tidak tidur semalaman. Aktivitas yang dilakukan adalah tirakatan, menyaksikan kesenian wayang, dan acara kesenian lainnya.
“Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling di sini memiliki arti, manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan di mana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sementara waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan,” pungkasnya. (001/red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar