# Part 1, Histiografi Kolonialisme Yang Mendiskreditkan Prabu Amangkurat Agung - SUARAKPK

BERITA HARI INI

Home Top Ad


HUT SUARAKPK Ke 15


 

Penghargaan dari Kedubes Maroko


 

12 Desember 2021

# Part 1, Histiografi Kolonialisme Yang Mendiskreditkan Prabu Amangkurat Agung

M.Sofyan,SH

Sebuah telaah kritis atas Histiografi Kolonialisme yang mendiskreditkan Prabu Amangkurat Agung sebagai sebuah kesadaran sejarah*

Oleh : Sofyan Mohammad **

 ---------------------------------------------------------------------------------------------------------

 Tiupan angin masih

Berhembus seperti biasa

Bumi tegal telah meriwayatkan pentasbihan Ki Gede Sebayu

Sebagai Juru Demung di Tlatah Tegal

Kyai Lembah Manah mencium aroma wangi

Untuk humus darma diri Pada cawan pengabdian

Alam semesta yang mengajar penuh kebijaksanaan

Segala tanaman yang tumbuh kekar di Tanah Arum

Tak satupun nampak

Bercerita tentang masa lalu yang kelam nun kejam

 Kisah kebrutalan seorang Sinuwun yang lalim

Hanya diwartakan oleh

Syahwat gerombolan Walandi

Yang menyamar sebagai

Batang pohon yang kokoh

Padahal hanyalah seongok batang randu kapas yang akarnya

Menumpang di sela sela hara

Kita bangsa yang besar telah ditipu daya

Dalam epos carita kopong

Tentang kekejian, kebrutalan seorang junjungan pribumi

Amangkurat Agung

Pusara pembantaian itu

Tak ditemukan aromanya

Kebusukan itu justru bersumber dari mulut gerombolan penjajah

Yang menggonggong

Hmmm

Lagi lagi misi kolonialisme telah bermetamorfosa

Dalam secawan anggur memabukkan

Dalam lakunya membentuk kata dan huruf yang tak bermakna

 Kyai Lembah Manah

Sang Guru telah menjatuhkan kebijaksanaan pada Tegal Arum

Berwira ajar dalam nafas cinta dan kepatuhan

Hingga sang murid pun ikut meneguk sejuknya tempat istirahat dari keletihan umur.

 -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 Dalam tradisi bangsa kita yang menjunjung tinggi adab dan etika maka mengunjungi makam leluhur, tokoh pemimpin dan orang orang yang linuwih pada masanya dengan cara menziarohi makamnya adalah salah satu bentuk memberikan kehormatan pada orang yang telah tiada dan sudah dimakamkan tersebut.

 Mempertahankan tali silaturahmi baik secara dzohir maupun batin merupakan bagian fundamental dari ajaran ilmu luhur, termasuk diantaranya memelihara silsilah (nasab dan sanad) baik dalam bentuk dokumen tertulis, cerita lisan run temurun, mengenang jasa dan pengorbanan yang telah ditunaikan, mewarisi keteladanan yang telah ditorehkan selanjutnya menebarkan dan menjunjung tinggi keharuman nama dan martabatnya dan mengubur dalam-dalam aib yang telah tertoreh maka hal tersebut juga bagian cara menjaga kehormatan leluhur sebagai manifestasi intisari ajaran luhur Jawa yaitu mikul duwur mendem jero  (menjunjung tinggi dan mengubur dalam)

 Kegiatan ziarah kubur dilakukan selain untuk mengenang keteladanan, jasa, dan pengorbanan yang telah diberikan, juga untuk memanjatkan do’a kepada Allah SWT - Tuhan Seru Sekalian Alam demi kebaikan berbagai pihak, yakni bagi ahli kubur, bagi nenek moyang yang telah meninggal maupun bagi seluruh anak keturunan yang masih ada,  hal ini merupakan spirit untuk meneruskan perjuangan, baik pada saat ini maupun pada masa yang akan datang,  hal ini bisa berlangsung ketika ada kesadaran sejarah.

 Kesadaran sejarah akan mengantar pada proses perenungan dan pencermatan akan kisah hidup leluhur maupun tokoh yang di ziarahi tersebut, termasuk didalamnya ketika sowan sambang sambung ruh melalui ziaroh kemakam Kanjeng Prabu Amangkurat Agung atau Susuhunan Amangkurat Agunh ing Ngalogo di Tegal Wangi, Pekuncen, Adiwerna, Kabupaten Tegal Jawa Tengah maka akan menimbulkan spirit perenungan yang mendalam atas kisah hidup beliau sebagai salah satu sosok Raja Mataram Islam yang dianggap cukup kontroversial (setidaknya menurut histiografi kolonial) sehingga ketika mengenang kisah hidupnya maka akan muncul sikap dan sudut pandang yang skeptis bahkan sinis bagi sebagian kalangan tertentu yang sudah terlanjur mempercayai narasi penulisan sejarah mainstream yang ditulis dalam perspektif Histiografi Kolonialisme.

 Dalam beberapa literasi yang sudah tersebar luas maka sosok Prabu Amangkurat Agung digambarkan sebagai tokoh antagonis ketimbang protagonis, ingatan dan pengetahuan dari banyak kalangan tertentu tersebut pada satu sisi dapat dimaklumi mengingat para sejarawan terlanjur memposisikan hal yang demikian yang merupakan tindakan yang tendensius dan subyektif dari pemerintah  kolonial itu sendiri.

 Prabu Amangkurat Agung selama berkuasa selalu dikaitkan dengan berbagai skandal salah satunya adalah adanya tragedi berdarah yaitu isu  insiden pembantaian atas ribuan ulama pada masa pemerintahanya padahal melacak lebih jauh sumber sejarahnya sebagai sebuah fakta maka nampaknya penulisan tersebut hanya bersumber dari keterangan orang orang Belanda yang seakan akan tahu persis insiden itu telah benar benar berlangsung, sehingga munculah narasi yang sistematis, masif dan terstuktur untuk menunjuk Prabu Amangkurat Agung sebagai biang dari pada tragedi tersebut

 Terkait dengan isu tragedi tersebut yang seakan nyata telah benar benar terjadi telah ditulis oleh sejarawan Belanda seperti H.J. de Graaf dalam De Regering van Sunan Mangku-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677 (1961), menulis pada intinya "bersama anak buah masing- masing, mereka menerima perintah untuk menyebar ke empat penjuru mata angin, sang raja berpesan agar  “Jangan seorang pun dari pemuka-pemuka agama dalam seluruh yurisdiksi Mataram luput dari pembunuhan" (hlm. 38).

 Sejarawan Belanda lain yaitu Merle C. Ricklefs dalam War, Culture, and Economy in Java 1677-1726 (1993) telah menulis jika Amangkurat I digambarkan sebagai penguasa brutal tanpa sedikit pun keberhasilan atau kreativitas. “Jika Sultan Agung menaklukkan, menggertak, membujuk, dan bermanuver, Amangkurat I menuntut dan membantai" (hlm. 31).

 Dalam catatan sejarawan Belanda lain yaitu Van Goens menulis tentang Amangkurat I dengan narasi, “Ia meninggalkan semua pembesar yang sudah tua dan diangkat semasa pemerintahan ayahnya itu dalam suasana tercekam dan penuh kekhawatiran " tulisan lain dari Van Goens ialah “Belum setengah jam berlalu setelah terdengar bunyi tembakan, 5 sampai 6 ribu jiwa dibasmi dengan cara yang mengerikan”

 Bahkan oleh sejarawan lain yaitu Soemarsaid Moertono dalam State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century (1968) maka dalam tulisanya pada intinya menyebutkan jika Amangkurat I disebut sebagai “raja yang istimewa lalimnya".

 Semua narasi penulisan oleh para sejarawan kolonial sedemikian dramatis yang seakan akan insiden itu nyata terjadi karena buah dari kebijakan Amangkurat Agung waktu itu, padahal keterangan tersebut sangatlah diragukan kebenaranya secara faktual mengingat penulisan tersebut hanya bersumber dari keterangan sepihak oknum Belanda yang seakan - akan benar - benar melihat dan mengetahui tragedi itu sementara ketika dicermati secara seksama maka semua penulisan para sejarawan kolonialisme tersebut nampaknya tidak terkorelasi dengan sumber sumber sejarah lainnya karena tidak ada sumber sejarah lokal yang menyebut bagaimana pembantaian tersebut berlangsung, lagi lagi sumbernya adalah catatan dari seorang pejabat VOC yang saat itu mengaku berdinas di Mataram yaitu yang kemudian diterbitkan dalam buku berjudul De vijf gezantschapsreizen naar het hof van Mataram, 1648-1654 (1956).

 Kolonialisme Belanda sedemikian masif menulis sejarah dengan sangat subyektif dan tendensius untuk menjalankan kepentingannya yaitu ingin melanggengkan kekuasaan kolonialismenya sehingga dalam menulis sejarah tersebut bisa jadi hanya bersumber dari imajinier fiktif atau paling tidak yang terjadi hanyalah insiden kecil yang tidak relevan namun kemudian dibungkus dengan kemasan penulisan sejarah yang seakan akan ilmiah oleh para sejarawan Belanda yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah kolonial waktu itu dan tragisnya penulisan yang tidak terkorelasi dengan fakta sejarah tersebut justru dibenarkan oleh sejarawan para sejarawan kemudian yang lahir di era kemerdekaan sehingga syindrom yang berupa the mentaling legacy hasil kontruksi pemerintah kolonial tidak hilang meski Indonesia sudah merdeka.

 Dalam pelacakan penulis maka banyak berserak tulisan sejarah tendensius kolonial yang masih dilegitimasi dan dipercayai oleh masyarakat kita selain yang disebutkan diatas maka historiografi kolonial dapat pula ditemukan dalam Koloniale Geschiedenis karya Colenbrander Geschiedenis van den Indischen Archipel karya B.H.M Vlekke, Beknopt Leerboek Geschiedenis van Nederlandsch Oost-Indie karya F.W Stapel dan masih banyak lagi yang kesemuanya content didalamnya masih dianggap akurat dan kredibel sebagai fakta sejarah.

 Dalam faktanya bangsa kita sekurang kurangnya telah dijajah oleh beberapa bangsa lain seperti Portugis, Belanda, Inggris maupun Jepang yang kesemuanya nyaris melakukan historiografi kolonialisme yang ditulis oleh sejarawan mereka dan untuk kepentingan mereka sendiri meski sejarawan Jepang tidak begitu banyak melakukan manipulasi penulisan sejarah mengingat masa penjajahanya di nusantara hanya seumur jagung atau singkat selama kurang lebih tiga (3) tahun lamanya.

 Historiografi kolonialisme dapat dilihat pada jurnal Historiografi (2016) karya Taufik Abdullah, yang disebutkan historiografi kolonial bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan kolonialisme di negara jajahan dan meredam perlawanan - perlawanan dari masyarakat pribumi. Padahal diketahui jika sejarah memiliki peran yang fundamental sebagai sarana untuk pembentukan jati diri dan karakter kebangsaan (national character building), karenanya istilah sejarah memiliki kedekatan pelafalan dan sekaligus pengertian dengan istilah kata syajarah yang berarti pohon atau syajara yang berarti terjadi (Kuntowijoyo, 2005:1).

 Mencermati penulisan histiografi kolonial nampak sekali dilakukan  dengan elaborasi yang sangat subyektif dan nisbi, sehingga justru menempatkan satu kenyataan lain karena itu butuh telaah kritis dengan perspektif dan  sudut pandang alternatif untuk sampai pada pemahaman tentang pengertian dan makna sejarah yang harus dijadikan sebagai sebuah kenyataan sehingga dalam hal ini rekontruksi sejarah sangat perlu di ketengahkan kembali.

 Menurut Kartodirdjo (1992:14-15), pengertian sejarah dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni secara subyektif dan secara obyektif. Sejarah dalam arti subyektif adalah suatu konstruksi atau suatu bangunan yang disusun oleh sejarawan sebagai suatu cerita tentang suatu peristiwa tertentu yang terjadi pada masa lampau. Dalam hal ini, sejarah tidak bisa hanya merupakan hasil interpretasi yang dihasilkan oleh sejarawan secara subyektif, sisi subyektif seperti inilah yang memungkinkan adanya tafsiran yang berbeda antara sejarawan yang satu dengan sejarawan yang lainnya meskipun mengkaji suatu tema yang sama dan konteks ini maka tidak heran rasanya jika dalam sejarah Prabu Amangkurat Agung juga muncul polemik atau kontraversi.

 Suatu peristiwa sejarah memang akan mampu mengundang berbagai spekulasi dari sisi  pemikiran, pertanyaan, ekspektasi, kecemasan,  inspirasi maupun tindakan antisipasi tertentu yang sangat berguna dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik bagi kehidupan pada saat ini maupun kehidupan pada yang akan datang, karena sejarah memiliki makna yang mendalam dari suatu peristiwa fakta yang telah terjadi .

 Terkait dengan penulisan sejarah tentang Prabu Amangkurat Agung dalam perspektif Histiografi Kolonialisme maka dapat kita baca lebih lanjut dalam buku Historiografi di Indonesia : Dari Magis Religius hingga Strukturis (2009) karya Agus Mulyana dan Darmiati, dalam buku dimaksud disebutkan historiografi kolonial memiliki ciri-ciri yaitu menggunakan sudut pandang Nerlando -sentris dan Eropa -sentris yang mana peristiwa sejarah yang ditulis hanyalah peristiwa yang memiliki keterkaitan dengan kepentingan pemerintah kolonial di tanah jajahan.

 Mencermati catatan dalam Historiografi Kolonial maka akan terlihat, sangat bersifat deskriminatif karena dalam narasi sejarahnya terdapat deskriminasi terhadap bangsa pribumi Nusantara yang diberi label primitif, kasar, kejam, bar bar atau sifat-sifat buruk lainnya melalui narasi-narasi penulisan sejarah didalamnya hal ini digunakan sebagai cara untuk melegitimasi kolonialisme di negara jajahan, sehingga jelas narasi sejarah pada Historiografi kolonial digunakan untuk menciptakan dan mempertahankan kolonialisme di bumi Nusantara.

Bersambung…..

Bagaimana Historiografi kolonial dan validitasnya, ikuti karya berikutnya….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HUT SUARAKPK Ke 9 (2018)