Upacara Labuhan di pantai Parang Kusumo, dipimpin oleh pengageng ndalem, GPH.Adipati Drs.Dipokusumo.,M.Si didampingi KP.Andi Budi S. juga dihadiri, Sampean-Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Pakubuwono XIII bersama GKR Permaisuri Paku Buwono.
Berbeda dengan tahun tahun sebelumnya, karena masa Pandemi Covid-19, Upacara Labuhan digelar dengan tidak melibatkan banyak abdi dalem, dan sesuai protokol kesehatan.
Kraton Surakarta sendiri mempunyai kepercayaan yang sudah ditetapkan oleh leluhur sebagai pendiri Keraton Mataram bahwa apa saja yang sudah tidak dipakai di Kraton Surakarta akan dilabuh.
Upacara Labuhan memiliki makna yakni, dari kata “labuh” artinya mirip kata “larung” yang bermakna membuang sesuatu ke dalam air baik sungai atau laut.
Secara sederhana upacara ini sendiri bisa diartikan sebagai aktivitas memberi sesaji/persembahan kepada roh halus yang berkuasa di suatu tempat. Tujuannya untuk keselamatan Kasunanan serta rakyat.
Sedangkan cara pemberian sesaji di Pantai Parangkusumo, dilakukan dengan cara melemparkan sesaji ke laut. Namun upacara tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, usai berdoa di pendopo Pantai Parangkusumo, berbagai sesaji yang akan dilarung ke pantai, dibawa abdi dalem dari pendopo pantai menuju bibir pantai dengan diiringi dengan sholawatan.
Sementara, alasan pemilihan tempat tersebut karena pertimbangan historis. Dulunya, raja-raja Mataram, terutama Panembahan Senopati bertapa dan terkoneksi dengan “roh halus” di sana. Lalu, muncul kepercayaan setiap raja yang berkuasa berkewajiban merawat relasi tersebut lewat sesaji. Sehingga anggapan yang berkembang “roh-roh” tersebut berperan dalam pendirian kerajaan Mataram, semisal Ratu Kidul yang berkuasa di laut selatan.
Dituturkan GKR Pakubuwono, bahwa dalam larung tersebut mendokan untuk Indonesia dapat segera terbebas dari pandemi.
“Kami dalam larungan tahun ini, mendoakan untuk keselamatan Indonesia ke depan dan segera berakhir Pandemi Covid-19 ini,” tutur singkatnya.
Di sisi lain, dikatakan GPH.Adipati Drs.Dipokusumo.,M.Si atau akrab panggil Gusti Dipo, bahwa upacara larungan tersebut merupakan kegiatan rutin kraton Kasunanan Surakarta sebagai budaya jawa yang menghormati leluhur.
“Ini Acara rutin tahunan dan sudah menjadi adat budaya jawa yang selalu dilestarikan Kraton Kasunanan Surakarta,” katanya.
Diungkapkan Gusti Dipo, dengan diiringi sholawatan sentana dan abdi dalem Kraton Kasunanan Surakarta, labuhan yang digelar, menjadi bukti, bahwa larung sesaji merupakan usaha memohon ridho Tuhan dalam permohonan.
“Sholawatan yang dilafaskan dalam mengiringi sesaji, merupakan bukti, bahwa kraton kasunanan tetap memohon ridho Allah SWT untuk membebaskan Indonesia dari pandemi covid-19 yang sudah masuk tahun kedua ini,” ungkap Gusti Dipo.
Ditandaskan Gusti Dipo, bahwa larungan di pantai Parangkusumo yang digelar setiap tahunnya, ke depan dapat sebagai bagian dari pariwisata budaya.
“Larungan ini sendiri, dapat menjadi pariwisata budaya jawa yang kelak perlu dipertahankan oleh generasi muda jawa,” tandasnya.
Senada, Pemerhati budaya, KP Andi Budi yang akrab dipanggil Gus Andi, menerangkan, bahwa larungan di pantai parangkusumo yang diiringi sholawatan menjadi bukti nyata kolaborasi budaya jawa yang tetap memohon keridhoan dari Allah SWT.
“Sholawatan yang dilantunkan saat menuju bibir pantai, merupakan kolabirasi budaya jawa dengan islam,” terangnya.
Diungkapkan Gus Andi, bahwa larungan tersebut menjadi destinasi wisata budaya untuk Indonesia.
“Inilah bukti keanekaragaman budaya di Indonesia, dan larungan ini, dapat menarik para wisatawan ke depannya, hal tersebut terbukti, banyaknya masyarakat yang turut menyaksikan larungan dan berebut sesaji saat usai dilarung ke laut, hal tersebut diharapkan warga mendapatkan keberkahan dari ritualisasi kraton kasunanan Surakarta Hadiningrat,” pungkasnya. (Gianto/Team/red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar