POLITIK ADU DOMBA - SUARAKPK

BERITA HARI INI

Home Top Ad


Penghargaan dari Kedubes Maroko


 

26 Juli 2021

POLITIK ADU DOMBA


oleh : Ir. KPH. Bagas Pujilaksono Widyakanigara, M. Sc., Lic. Eng., Ph. D.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta - Penulis Skenario Film Sultan Agung


Ketika Belanda menjajah Indonesia, Belanda menerapkan politik adu domba untuk mempertahankan hegemoni kekuasaannya di Nusantara. Sangat efektif dan efisien, wajar kalau Belanda sukses mencengkeram Nusantara selama 350 tahun.

Belanda memanfaatkan isu agama, suku, dan budaya untuk memecah belah bangsa Nusantara, agar mereka sibuk bertengkar sesama bangsanya sendiri, lupa mengkonsolidasi kekuatan untuk melawan Belanda.

Perang Bubat di era Raja Hayam Wuruk dari Majapahit, ceritanya dipelintir oleh sejarawan Belanda, seolah yang perang di lapangan Bubat depan Gerbang Wilwatikta adalah Raja Siliwangi. Padahal yang benar adalah Raja Galuh Pakuan. Raja Galuh Pakuan menghantarkan puterinya, Dyah Pitaloka, ke Majapahit untuk menjadi permaisuri Raja Hayam Wuruk. Akibat pidato politik Sang Mahapatih Gadjah Mada yang kepeleset lidah, terjadi salah tangkap, berujung perang tidak seimbang. Raja Galuh Pakuan dan permaisuri wafat, dan Dyah Ayu Pitaloka bunuh diri. Belanda paham betul, bahwa Prabu Siliwangi adalah Raja Besar tanah Pasundan dan menjadi icon bagi rakyat Sunda. Faktanya Prabu Siliwangi ada jauh sebelum Majapahit berdiri. Belanda sungguh brutal, buka hanya membohongkan fakta sejarah, namun juga memainkan implikasi budayanya yang berakibat rakyat Sunda dan Jawa saling membenci.

Cerita dinasti Demak Bintoro tidak luput dari intervensi politik adu domba Belanda. Ceritanya terlalu pelik dan rumit, yang intinya Adipati Haryo Pengsang dari Jipang Panolan, sejarahnya dihitamkan.

Dinasti Matatam Islam, yang keberadaannya sebagai representasi Islam Kultural, juga dipelintir cerita sejarahnya oleh Belanda. Sutawijaya putera biologis Sultan Hadiwijaya dan juga putera angkat Ki Gede Mataram alias Pemanahan, pernah dituduh menjadi Adipati di Mataram di saat Sultan Hadiwijaya masih bertahta dengan gelar Panembahan Senopati ing Ngalaga Ngabehi Loring Pasar. Seolah Sutawijaya mbalela atau membangkang titah ayahandanya, Sultan Pajang Hadiwijaya. Sutawijaya sangat menghormati ayahandanya. Gelar Panembahan Senopati itu muncul setelah Sultan Hadiwijaya wafat. Tidak ada bukti arkeoligis menunjukkan Mataram pernah menjadi Kadipaten di era Sultan Hadiwijaya. Fakta sejarah menunjukkan, dua penguasa Mataram, yaitu Panembahan Senopati dan puteranya, yaitu Panembahan Hanyokrowati, hanyalah seorang Panembahan, bukan raja, walau Pajang sudah runtuh. Putera Panembahan Hanyokrowati, yaitu Radenmas Rangsang naik tahta menjadi raja pertama di Mataram dengan gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Susuhunan Agung Hanyokrokusumo Senopati ing Ngalaga Ngabdurahman Khalifatulloh Syayidin Panatagama.

Perjanjian Giyanti adalah produk hukum kolonial yang memecah keluarga menjadi dua dinasti, Matahari Kembar: Kasultanan Ngayojakarta Hadiningrat dan Kasunanan Sala. Intinya, wilayah dan budaya dipecah jadi dua. Jogja meneruskan budaya lama dan Sala membuat budaya baru. Belanda sungguh brutal dan cruel. Lebih bodoh lagi yang dipecah, sudah mau dioecah, masih bangga lagi.

Itulah beberapa fakta kejadian di era Kolonial Belanda hasil politik adu doma. Sangat efektif dan efisien.

Di era reformasi saat ini, politik adu domba juga diterapkan oleh Politikus-politikus Busuk untuk menghancurkan NKRI dengan memecah belah bangsanya sendiri. Jolodong, Gembul, Cepot, dll adalah contoh Politikus Busuk yang tiada hari memainkan isu agama untuk mengadu domba bangsa. Jolodong yang hobinya membik-membik dan mewek dengan ekspresi wajahnya yang ketula-tula bergaya sok bijak, sok pintar, sok suci dan innocent. Dasar munafik!

Politik adu domba saat ini ditujukan agar bangsa Indonesia terus sibuk bertengkar sesama bangsanya sendiri, tidak sempat membangun negeri, tidak bisa menjadi bangsa yang maju, sehingga mudah dikadali dengan isu-isu agama. Yang tujuan utamanya agar Politikus Busuk ini tetap bisa berkuasa. Bukan hanya brutal dan cruel, namun jahat dan biadab.

Pandemi covid-19 juga dipolitisir dengan bacotan yang tidak bermutu, seolah mereka paling tahu dan paling bekerja keras mengatasi pademi covid-19 di tanah air. Mereka hanya ngebacot dan nyolong uang negara.

Jangan mau diadu domba. Mari kita bersatu padu dan bergotong-royong membantu Pemerintahan Presiden Jokowi mengatasi pademi covid-19 agar segera mereda.

Indonesia sehat, Indonesia kuat. Merdeka! Terimakasih.

Yogyakarta, 2021-07-25
BP. Widyakanigara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HUT SUARAKPK Ke 9 (2018)