SEMA Nomor 2 Tahun 2020 Dinilai Membatasi Kebebasan Pers - SUARAKPK

BERITA HARI INI

Home Top Ad


Pelantikan Presiden


 


 

Penghargaan dari Kedubes Maroko


 

28 Februari 2020

SEMA Nomor 2 Tahun 2020 Dinilai Membatasi Kebebasan Pers


JAKARTA, suarakpk.com – SEMA Nomor 2 tahun 2020 Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA tersebut mengatur ketentuan mengenai Tata Tertib Umum dan Tata Tertib Persidangan mendapatkan sorotan serius dari berbagai pihak, khususnya dari tokoh Pers Indonesia.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, Rabu (26/2), menilai aturan yang termaktub dalam SEMA Nomor 2 Tahun 2020 merupakan angin segar bagi mafia peradilan.
"Menanggapi aturan ini, YLBHI berpendapat bahwa larangan memfoto, merekam dan meliput persidangan tanpa izin Ketua Pengadilan akan memperparah mafia peradilan yang selama ini dalam banyak laporan, sangat banyak ditemukan," kata Asfinawati.
Asfin berpendapat, isi surat edaran itu juga bertentangan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kerja-kerja jurnalistik dalam memperoleh informasi dan menyebarluaskan kepada masyarakat.
Terlebih, dalam surat edaran yang baru diterbitkan MA, ada ancaman pidana bagi orang yang tak mengindahkan ketua pengadilan.
"Ancaman pidana yang ada dalam surat edaran tersebut sudah terdapat dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, sehingga tidak pada tempatnya dicantumkan dalam surat edaran ini," ucap Asfin.
Lagi pula, lanjut dia, kegiatan memfoto, merekam dan meliput persidangan tanpa izin adalah ranah hukum administrasi. Sementara kegiatan jurnalistik, menurut Asfin, tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang.
"Ketua Pengadilan dan birokrasinya akan dengan mudah menolak permohonan izin tersebut dengan berbagai alasan dan kepentingan tertentu," kata dia.
Ia memandang Indonesia tidak memiliki tradisi dan ketentuan yang ketat mengenai catatan proses persidangan. YLBHI dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sering menemui keterangan saksi dikutip secara berbeda baik di dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mau pun putusan majelis hakim.
Lebih lanjut, Asfin, mengatakan keterangan saksi kadang tidak dikutip secara utuh baik oleh Jaksa maupun hakim, sehingga menimbulkan makna berbeda. Bahkan, merujuk pengalamannya sebagai pengacara publik, terdapat keterangan saksi tertentu yang tidak diambil sebagai pertimbangan.
"Dalam pengalaman LBH juga sering ditemukan bahkan hakim menghalang-halangi liputan media dan juga dokumentasi oleh Tim Penasihat Hukum," imbuhnya.
Asfin mengungkapkan rekaman sidang, baik audio mau pun video, juga bisa berperan sebagai pengawas bagi hakim dan pihak berperkara dalam bersidang. Mereka akan berpikir dua kali apabila hendak bertindak tidak baik dalam persidangan.
Asfin menuturkan masalah di ranah pengadilan belum banyak berubah meskipun terdapat sejumlah peraturan di MA yang membawa pembaruan.
"Tetapi praktik-praktik minta uang serta layanan yang belum teratur masih ditemui di mana-mana. Pengadilan lambat merespons permintaan pihak-pihak yang berperkara," ungkapnya.
Senada, Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Sasmito Madrim berpendapat bahwa aturan itu berpotensi menghambat kerja jurnalis saat meliput persidangan.
"Walaupun itu secara spesifik tidak melakukan pembatasan ke jurnalis, tapi potensinya sangat besar sekali. Artinya, akan membatasi teman-teman untuk melakukan peliputan," kata Sasmito, Kamis (27/2).
Kita berharap lanjut Sasmito, pihak MA mencabut, dirinya memandang aturan tersebut serupa dengan klausul 'contemp of court' atau penghinaan terhadap pengadilan, dalam Pasal 328 dan 329 Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
"Aturan serupa ini di RKUHP juga sempat kita tolak yang contempt of court. Jadi, kita kaget juga sebenarnya ketika mendapat SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) ini. SEMA ini biasanya mengatur internal di pengadilan," ujarnya.
Dia berpendapat pemidanaan yang diatur dalam SEMA tidak tepat. Menurutnya, perihal pemidanaan seharusnya diatur dalam level undang-undang. Pihaknya akan mendatangi MA jika tidak juga mencabut surat edaran tersebut.
"Kita ada rencana juga nanti jika ada masukan dari masyarakat misal dari yang sudah menyampaikan kritik kan sudah ada dari YLBHI, ICJR, dalam waktu dekat tidak dicabut oleh MA, mungkin AJI akan mencoba datang ke MA untuk menyampaikan permintaan dan masukan terkait SEMA," tandasnya.
Di sisi lain, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Agil Oktaryal, memberikan catatan terkait izin Ketua Pengadilan Negeri soal pengambilan gambar dan rekaman sidang dalam surat edaran MA. Ia berpendapat semestinya aturan tersebut berada di level UU bukan SEMA.
Sebab, menurut dia, keterbukaan dalam persidangan merupakan salah satu prinsip yang paling esensial. Agil memandang aturan pembatasan kerja-kerja jurnalistik itu melanggar asas keterbukaan untuk umum. Dirinya juga melihat adanya pembatasan terhadap kegiatan jurnalistik dalam surat edaran MA.
"Asas ini harus diartikan bahwa persidangan itu bisa diakses melalui alat dan kanal mana pun, apalagi tren peradilan di banyak negara mulai terbuka. Harusnya kalaupun mau mengatur, ketentuannya bukan 'izin' melainkan cukup 'pemberitahuan'," kata Agil kepada wartawan, Rabu (26/2).
Agil berpendapat sarana dan prasarana peradilan di bawah MA belum cukup memadai untuk menerapkan prinsip keterbukaan. Poin ini, kata dia, berbeda dengan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kanal informasinya sangat terbuka dan cepat.
"Misal risalah yang bisa ke luar satu jam pascasidang atau rekaman sidang di Youtube yang otomatis di-upload 10 menit setelah sidang," ujar Agil mencontohkan.
Selain itu, Agil menyoroti ihwal pemidanaan bagi pihak yang melanggar aturan yang tertuang di Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2020 tersebut. Kata dia, ketentuan pidana hanya boleh diatur dalam produk hukum yang pembentukannya melibatkan dua lembaga, yakni eksekutif dan legislatif. Produk hukum yang dimaksud adalah undang-undang dan peraturan daerah.
"Selain itu tidak boleh, apalagi di surat edaran, ini dapat mengancam kebebasan pers," ujar Agil.
Sementara itu, Dewan Pers memandang SEMA yang mengatur tentang perizinan Ketua Pengadilan Negeri atas pengambilan gambar, video dan rekaman di persidangan sebagai sesuatu yang aneh.
"Kalau sekarang dari SEMA (sidang) terbuka, tapi kalau memotret harus seizin Ketua Pengadilan Negeri, kalau begitu jadi aneh. Ada ruang publik yang tertutup untuk melihat; memantau," kata Arif Zulkifli, Kamis (27/2).
Pria yang akrab disapa Azul ini memandang sejauh ini peran pers cukup efektif dalam melakukan pengawasan terhadap jalannya persidangan. Apalagi, menurut dia, kondisi peradilan saat ini masih sering terjadi hal yang tidak patut.
"Selama ini kan wartawan jadi bagian dari transparansi, termasuk transparansi di ruang sidang. Kita tahu persidangan di kita masih sering terjadi hal-hal yang tidak patut," ujarnya.
Ia menambahkan Dewan Pers akan melakukan rapat internal guna menindaklanjuti sejumlah aturan di SEMA Nomor 2 tahun 2020.
"Dewan Pers belum ada rencana menghubungi MA. Nanti kita mau bicara internal dulu soal itu," ucapnya.
Terpisah, Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Hatta Ali dikabarkan telah memerintahkan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA, Prim Haryadi, mencabut Surat Edaran Nomor 2 tahun 2020 yang ditandatangani pada 7 Februari 2020.
SEMA Nomor 2 tahun 2020 Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA tersebut mengatur ketentuan mengenai Tata Tertib Umum dan Tata Tertib Persidangan.
Namun, Jum'at (28/2), dituturkan Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro, ternyata setelah diteliti, itu sudah diatur dan itu sudah diperintahkan untuk mencabut.  
Andi menjelaskan dasar pencabutan surat edaran MA (SEMA) yang mengatur pengambilan foto, rekaman suara, dan rekaman tv karena hal itu sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
"Sudah diatur KUHAP, sudah diatur dalam PP 27/1983 itu kan dalam rangka ketertiban persidangan untuk kelancaran tertibnya persidangan," ujarnya.
Untuk diketahui bahwa dalam Surat Edaran No. 2 tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan terbitan Ditjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung yang ditandatangani pada 7 Februari 2020, mengatur setiap orang yang ingin mengambil foto, rekaman suara dan video harus seizin hakim ketua.
Hal itu diatur dalam bagian I. Tata Tertib Umum poin nomor 2 yang berbunyi, "Pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan."
Pada poin yang lain, selama sidang berlangsung pengunjung sidang harus duduk dengan sopan dan tertib di tempat masing-masing dan memelihara ketertiban dalam sidang.
Pengunjung sidang dilarang merokok, makan, minum, membaca koran, berbicara satu sama lain atau melakukan tindakan yang dapat mengganggu jalannya persidangan. Semua orang yang hadir di ruang sidang harus mengenakan pakaian yang sopan dan sepantasnya, serta menggunakan sepatu.
Sementara pada bagian II angka 9 Tata Tertib Persidangan dikatakan, "Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud pada angka 7 bersifat suatu tindakan pidana, akan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya."
Ada pun angka 7 mengatur, "Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua majelis untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat." (001/red-sumber : CNNIndonesia.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HUT SUARAKPK Ke 9 (2018)