GUNUNGKIDUL, suarakpk.com – Dugaan
adanya aroma kongkalikong, antara Kepala Desa dengan oknum penegak hukum
Gunungkidul, untuk memenjarakan AN, seorang wartawan semakin terasa.
Jaksa Penuntut
Umum Kejaksaan Negeri Gunungkidul, Siti Junaidah, SH dan Niken Retno Widarti,
SH, beberapa waktu lalu, Kamis (13/2), membacakan tuntutan atas perkara
pemerasan di persidangan Pengadilan Negeri Wonosari, dinilai oleh sejumlah
pihak ada rekayasa dan dipaksakan.
JPU mendakwa AN melakukan
pemerasan uang Rp.1 juta rupiah kepada Kepala Desa Bendung, Kecamatan Semin
Kabupaten Gunungkidul, DIY. Sehingga JPU dihadapan Pengadilan menuntut AN
dengan pidana Penjara selama 1 Tahun 2 Bulan. Menurut JPU, bahwa AN sebagai
terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana “Pemerasan”
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 369 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan perintah terdakwa segera menjalani
pemidanaan setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap.
Namun usai
persidangan, JPU enggan memberikan keterangan dan bergegas menghindar dari
media.
Terpisah, menanggapi
tuntutan tersebut, Pimpinan Redaksi SUARAKPK, Imam Supaat, menilai sangat
berlebihan. Menurutnya, JPU tidak mempertimbangkan fakta yang terungkap di
pengadilan dan saksi-saksi yang diajukan oleh JPU sendiri.
Diungkapkan Imam, bahwa
perkara tersebut mempersoalkan kalimat yang tertulis dalam pesan WhatsApp, dimana
AN diasumsikan telah mengirim sebuah kalimat meminta Uang kepada Kepala Desa
Bendung untuk mengkondisikan pemberitaan.
“Yang ada justru, AN
ini memberitakan semua peristiwa yang dilakukan oleh Kepala Desa Didik Rubiyanto,
mulai dari perselingkuhannya, hingga melahirkan anak, namun Didik Rubiyanto
ingkar janji untuk menikahi wanita tersebut sampai sekarang yang sudah berganti
tahun,” tutur Imam saat ditemui di Bascame Perwakilan Redaksi Media SUARAKPK,
Kedungpoh, Ngelipar, DIY, Sabtu (15/2).
Selain itu, lanjut
Imam, AN juga berhasil membongkar dugaan pemalsuan dokumen dan tanda tangan
pengambilan pensiun warganya yang sudah meninggal untuk kepentingan pribadi
selama kurang lebih setahun sampai dua tahun.
“AN berhasil
mendapatkan bukti surat pernyataan dari Didik Rubiyanto yang mengakui
dirinyalah yang telah melakukan pengambilan dana pensiun warganya yang sudah
meninggal di BRI Unit Semit dan berjanji sanggup mengembalikan dana ke PT Taspen
Yogyakarta,” jelas Imam.
Lebih lanjut Imam
mengungkapkan, saat dirinya dimintai keterangan sebagai saksi dalam Sidang, dia
ditanya JPU tentang alasan berita PTSL belum diberitakan.
Imam menjelaskan
dihadapan JPU, bahwa dalam membuat berita tidak bisa dicampuradukan dengan
opini. Tentang PTSL dalam proses mengumpulkan keterangan beberapa narasumber.
Dikatakannya,
biaya PTSL di Desa Bendung berdasarkan bukti kwitansi, telah dipungut senilai
Rp.250.000 – Rp.450.000, dan biaya ini dikeluhkan oleh masyarakat.
Imam meminta
kepada AN bersama tim untuk mendalami aturan di Kabupaten Gunungkidul dan
mencari bukti lainnya, agar lebih jelas faktanya, berapa banyak bidang lahan
yang dialokasikan di Desa Bendung, dan berapa pesertanya.
Namun AN dan tim
belum sempat melangkah jauh, AN sudah ditangkap tangan dan digelandang ke
Polsek Semin untuk digeledah bersama istrinya dengan tuduhan pemerasan.
“Saat
penggeledahan, Polisi tidak menemukan bukti apapun sebagaimana dituduhkan,
kemudian AN bersama istrinya dibawa kembali ke tempat dimana dia ditangkap,
sesampai di lokasi, ternyata sudah ada amplop yang entah isinya apa,” jelas
Imam.
Merasa tidak
mengetahui tentang amplop tersebut, lanjut Imam, AN dipaksa oleh penyidik untuk
mengakui bahwa dirinya menerima amplop tersebut.
Sebagaimana
diketahui, bahwa biaya dalam PTSL berdasarkan Keputusan Bersama tiga Menteri tentang
Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis, dan Peraturan Bupati
Gunungkidul, Nomor 47 Tahun 2017, Tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran
Tanah Sistematis Lengkap, sebesar Rp.150.000.
“Dan dalam Pasal 3
Ayat (1) Peraturan Bupati Gunungkidul, berbunyi Besaran biaya persiapan PTSL
paling banyak sebesar Rp. 150.000,00 setiap bidang,”
terang Imam.
Imam juga
mempertanyakan, saat sidang mendengarkan keterangan terdakwa, JPU keberatan
untuk membuka bukti percakapan di HP antara terdakwa dan Kepala Desa.
“Lho ini khan yang
dipersoalkan dan dijadikan salah satu barang bukti oleh JPU untuk mengajukan ke
persidangan,” tanya Imam.
Diungkapkannya,
bahwa selama persidangan berlangsung, tidak ada satupun saksi yang menyebut bahwa
AN meminta Kades Didik Rubiyanto untuk memberikan uang atau sesuatu kepada AN.
“Kenapa JPU
keberatan membuka HP nya untuk dilihat bukti percakapannya, ini khan aneh, justru
seolah ada yang ditutupi,” tanya Imam.
Selain itu, Imam juga
menceritakan saat dirinya dimintai keterangan dalam penyidikan oleh Polsek
Semin. Dirinya bertanya kepada Kanit Reskrim Polsek Semin, Ipda Mahmed, mengapa
dengan bukti subyektif tetap dilanjutkan.
“Waktu itu, Kanit
Reskrim Polsek Semin Ipda Mahmed kepada saya, di lantai dua Polsek Semin, mengaku
jengkel atas pelaporan saya ke Propam tentang proses penangkapan dan dugaan
pemaksaan hingga penyitaan kartu pers AN,” ceritanya.
Ipda Mahmed waktu
itu juga mengatakan bahwa dirinyalah yang berkuasa atas kasus AN, akan tetap dilanjut
atau tidak, semua tergantung dirinya,
“Penyidik punya
kewenangan menghentikan atau melanjutkan perkara walau hanya dengan bukti
Subyetif, dan bagaimanapun caranya akan sampai ke Pengadilan,” ungkap Imam
menirukan ucapan Ipda Mahmed.
“Dan ternyata
benar, perkara ini bisa sampai sidang walau hanya bukti subyetif sesuai
asumsinya penyidik,” ucapnya.
Selain itu, Imam
juga mempertanyakan tentang pesan JPU saat penyerahan tersangka AN, menurut
keterangan AN, bahwa JPU sudah berpesan agar AN kooperatif dan tidak
menggunakan Pengacara.
“Kalau kamu enak, sayapun enak, kamu sulit,
sayapun bisa membuat kamu lebih sulit, saya minta kerjasamanya, ndak usah pakai
pengacara daripada menyulitkan kamu sendiri,” setidaknya itu ucapan JPU
yang dilaporkan AN kepada saya waktu itu,
“Ternyata benar,
ketika AN menggunakan Penasehat Hukum, dengan serta merta JPU menuntut perkara
yang bersifat asumtif ini dengan tuntutan 1 tahun 2 bulan,” jelas Imam.
Ditegaskan Imam, semestinya
dari hasil investigasi atas temuan dugaan penyimpangan pejabat publik yang
diberitakan dan ditayangkan dapat dijadikan informasi awal oleh penegak hukum
untuk ditindaklanjuti secara hukum.
“Bukan justru
penegak hukum bekerjasama dengan Kepala Desa untuk menjebak wartawan yang
memberitakan tentang kebobrokan Kepala Desa dengan tuduhan pemerasan,”
keluhnya.
Menurut Imam, hal
tersebut sama saja Penegak Hukum ingin membungkam kemerdekaan pers sebagai pilar
ke empat Negara demokrasi.
“Inilah yang perlu
menjadi perhatian Kapolda DIY, Kapolres Gunungkidul, Kajati DIY, Kejati
Gunungkidul,” ungkap Imam.
Namun demikian,
Imam berharap atas kabar yang diterima tentang adanya dugaan penerimaan sesuatu
dari Didik Rubiyanto kepada penyidik Polsek Semin dan JPU Kejari Wonosari, sebagai
bentuk kompensasi awal dan akan ada tambahan, jika AN berhasil dijebloskan ke
Penjara adalah tidak benar adanya.
“Memang saya
berharap, bahwa adanya rumor tentang itu, tidak benar, Penyidik dan JPU tidak
mungkin menggadaikan imannya dengan nilai segitu (red),” ucapnya.
Imam juga berharap,
Majelis Hakim yang menyidangkan untuk memberikan putusan seadil-adilnya atas
perkara AN.
“Saya berharap,
Majelis Hakim yang terhormat berkenan mempertimbangkan, bahkan AN tidak pernah
menerima uang dari Didik Rubiyanto dengan cara seperti yang didakwakan,"
harap Imam.
Terpisah, saat
dikonfirmasi, Penasehat Hukum AN, Ricky Antariksa Soediro,SH enggan memberikan
komentar, dirinya hanya mengatakan, bahwa sedang menyiapkan pledoi untuk sidang
lanjutkan minggu depan, Selasa (18/2) di PN Wonosari.
“Maaf mas, dilihat
saja nanti, saat ini kami sedang menyiapkan pledoi untuk sidang minggu depan,
tunggu saja nanti ya,” pungkas Ricky, Sabtu (15/2) melalui selulernya.
(Tim/red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar