PURWOREJO, suarakpk.com - Konon pada sekira abad ke 15 di
Desa Bagelen Raden Mas Cakrajaya yang bekerja sebagai penderes atau
mengumpulkan nira untuk diolah menjadi gula merah. Suatu hari Raden Mas
Cakrajaya bekerja sambil nembang, salah satu kalimat dalam tembangnya adalah
'Klontang klantung, wong nderes buntute bumbung', bersamaan Kanjeng Sunan
Kalijaga lewat, menyapa Raden Mas Cakrajaya. Mendengar suara nyanyian
Cakrajaya, Sunan Kalijaga sangat takjub, kemudian dia mendekati Sunan Kalijaga
sangat tertarik dengan suara Cakrajaya yang merdu. Kalijaga pun bertanya
mengenai hasil penjualan dari gula aren tersebut, dan Cokrojoyo pun menjawab
bahwa hasil gulanya biasa digunakan untuk fakir miskin.
Mendengar jawaban
tersebut Sunan Kalijaga kemudian memerintahkan Cakrajaya untuk mengubah syair
tembangnya dengan lantunan dzikir dan pujian kepada Allah. Sunan Kalijaga
kemudian melanjutkan perjalanan ke tempat lain.
Setelah itu, Cakrajaya kembali melakukan kegiatan membuat gula aren dengan bernyanyi menggunakan syair barunya yang didapat dari Kanjeng Sunan. Cakrajaya sangat terkejut melihat gula hasil olahannya ternyata menjadi emas batangan.
Setelah menyadari keanehan tersebut Cakrajaya kemudian mencari Sunan Kalijaga untuk mengucapkan terimakasih sekaligus meminta agar dirinya diangkat menjadi murid Sunan Kalijaga. Akhirnya Cakrajaya bertemu dengan Kanjeng Sunan dan mengutarakan maksudnya agar diangkat menjadi murid. Mendengar apa yang disampaikan oleh Cakrajaya, Sunan Kalijaga memberikan sebuah syarat agar Cakrajaya tinggal di hutan hingga Sunan Kalijaga kembali ke tempat tersebut. Dengan menancapkan tongkatnya, Sunan Kalijaga berpesan kepada Cakrajaya agar menunggui tongkat tersebut sambil berdzikir kepada Allah SWT hingga Sunan Kalijaga kembali lagi ke tempat itu.
Waktu pun berlalu, hingga tempat dimana Cakrajaya berdzikir sambil menunggu tongkat Sunan Kalijaga telah ditumbuhi ilalang dan tumbuhan liar lainnya. Sunan Kalijaga yang telah lama berkelana, teringat kepada calon muridnya yang telah lama dia tinggalkan, akhirnya Sunan Kalijaga mencari Raden Mas Cakrajaya, namun tidak ketemu dan memerintahkan warga untk membakar hutan bambu dan semak belukar, hingga akhirnya semua terbakar dan menemukan Raden Mas Cakrajaya dengan keadaan hitam atau gosong, namun masih hidup.
Setelah itu, Cakrajaya kembali melakukan kegiatan membuat gula aren dengan bernyanyi menggunakan syair barunya yang didapat dari Kanjeng Sunan. Cakrajaya sangat terkejut melihat gula hasil olahannya ternyata menjadi emas batangan.
Setelah menyadari keanehan tersebut Cakrajaya kemudian mencari Sunan Kalijaga untuk mengucapkan terimakasih sekaligus meminta agar dirinya diangkat menjadi murid Sunan Kalijaga. Akhirnya Cakrajaya bertemu dengan Kanjeng Sunan dan mengutarakan maksudnya agar diangkat menjadi murid. Mendengar apa yang disampaikan oleh Cakrajaya, Sunan Kalijaga memberikan sebuah syarat agar Cakrajaya tinggal di hutan hingga Sunan Kalijaga kembali ke tempat tersebut. Dengan menancapkan tongkatnya, Sunan Kalijaga berpesan kepada Cakrajaya agar menunggui tongkat tersebut sambil berdzikir kepada Allah SWT hingga Sunan Kalijaga kembali lagi ke tempat itu.
Waktu pun berlalu, hingga tempat dimana Cakrajaya berdzikir sambil menunggu tongkat Sunan Kalijaga telah ditumbuhi ilalang dan tumbuhan liar lainnya. Sunan Kalijaga yang telah lama berkelana, teringat kepada calon muridnya yang telah lama dia tinggalkan, akhirnya Sunan Kalijaga mencari Raden Mas Cakrajaya, namun tidak ketemu dan memerintahkan warga untk membakar hutan bambu dan semak belukar, hingga akhirnya semua terbakar dan menemukan Raden Mas Cakrajaya dengan keadaan hitam atau gosong, namun masih hidup.
Melihat kesetiaan
Raden Mas Cakrajaya yang ikhlas dan bersungguh-sungguh, akhirnya Sunan Kalijaga
mengangkat Raden Mas Cakrajaya sebagai murid dan diberikan Gelar Sunan
Geseng.
Setelah menimba
ilmu keislaman dari Sunan Kalijaga, kemudian Sunan Geseng ditugaskan berdakwah
di daerah Purworejo, Jawa Tengah dan sekitarnya seperti di Klaten, Yogyakarta,
Magelang, Demak, hingga Tuban Jawa Timur.
Untuk bersyiar
agaman, Raden Mas Cakrajaya akhirnya membangun masjid dan diberi nama Masjid
Sunan Geseng. Setelah islam berkembang di wilayah bagelen, raja demak
memanggil Sunan Geseng untuk diberi hadiah. Dalam perjalanan pulang dari Kraton
Demak Sunan Geseng sakit dan meninggal di perjalanan di Desa Tirto, Kecamatan
Grabag, Kabupaten Magelang.
Dengan kesepakatan
para wali, akhirnya Sunan Geseng di makamkan di Desa Tirto di kaki Gunung
Andong-dekat Gungung Telomoyo, Magelang. Selain di Desa Tirto, ada juga yang
meyakini, Makam Sunan Geseng terletak di Dusun Jolosutro, Kecamatan Piyungan,
Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Letaknya kira-kira 2 km di sebelah kanan
Jalan Yogyakarta-Wonosari Km. 14 (kalau datang dari Yogyakarta). Setiap tahun
ada perayaan dari warga setempat untuk menghormati Sunan Geseng. Hingga
sekarang kedua makam Sunan Geseng sering dipenuhi pezhiaroh dari berbagai
kalangan. Masyarakat sekitar makam khususnya, dan Grabag pada umumnya, sangat
mempercayai bahwa makam yang ada di puncak bukit dengan bangunan cungkup dan
makam di dalamnya adalah sarean (makam) Sunan Geseng.
Pada Bulan Ramadhan,
pada hari ke-20 malam masyarakat banyak yang berkumpul di sekitar makam untuk
bermunajat. Selain itu, di Desa Kleteran (terletak di bawah Desa Tirto) juga
terdapat sebuah Pondok Pesantren yang dinamai Ponpes Sunan Geseng.
Namun ada juga
sebuah makam yang konon juga makam Sunan Geseng, tepatnya di hutan di atas
bukit kapur, kurang lebih 10 km di sebelah timur Kota Tuban Jawa Timur,
yang konon juga Sunan Geseng bertapa di situ sampai akhirnya hutan terbakar,
dan pada saat dia wafat dimakamkan di situ, karena di dusun geseng tersebut
terdapat sebuah makam yang di atasnya terdapat batu nisan, dan banyak di
ziarahi orang, dan dari situlah para peziarah yang pada umumnya berziarah di
makam sunan Bonang di tuban, atau di makam Syeh Maulana Ibrahim Asmoro Qondi,
selalu menyempatkan untuk berziarah ke makam Sunan Geseng tersebut.
Sementara, saat
suarakpk.com berkunjung ke sebuah rumah yang diyakini merupakan rumah asli
Sunan Geseng, terlihat rimbunan bambu kuning yang diyakini merupakan sebuah
tongkat yang ditinggalkan oleh Sunan Kalijaga untuk dijaga oleh Sunan Geseng
pada waktu itu, hingga sekarang bambu kuning tersebut masih dirawat dan dijaga
oleh juru kunci, terakhir yang bernama mbah Budiono, dan setiap malam senin
kliwon selalu digelar tawasul dan pengajian rutin yang mendatangkan kyai area
purworejo.
Selain bambu
kuning, di sebelah timur rumah Sunan Geseng juga masih berdiri dengan kokoh
sebuah batu bertumpuk yang dipercaya sering digunakan para wali untuk
berkumpul, saat akan pergi sholat ke mekkah, oleh para walisongo batu itu
dinamakan Batu Sirrottol.
Untuk diketahui,
bahwa Sunan Geseng, atau sering pula disebut Eyang Cakrajaya, adalah keturunan
Imam Jafar ash-Shadiq, dengan nasab: Sunan Geseng bin Husain bin
al-Wahdi bin Hasan bin Askar bin Muhammad bin Husein bin Askib bin Mohammad
Wahid bin Hasan bin Asir bin 'Al bin Ahmad bin Mosrir bin Jazar bin Musa bin
Hajr bin Jafar ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin al-Madani
bin al-Husain bin al-Imam Ali.
Menurut Babad
Jalasutra, Ki Cakrajaya juga adalah murid dari Sunan Panggung atau Raden
Watiswara Cucu Raden Brawijaya V yang dimakamkan di dusun Kutan, Desa Jatirejo,
Kecamatan Lendah, Kulonprogo. Makamnya terletak di bukit pinggir sungai Progo.
Beberapa orang menganggap antara Ki Cakrajaya dan Sunan Panggung adalah orang
yang sama.
Masyarakat sekitar
makam khususnya, dan Grabag pada umumnya, sangat mempercayai bahwa makam yang
ada di puncak bukit dengan bangunan cungkup dan makam di dalamnya adalah sarean
(makam) Sunan Geseng.
Keberadaan
petilasan atau tempat Sunan Geseng bertapa dan berdzikir itu hingga kini masih
dijaga dan dilestarikan. Selain sebagai penanda keberadaan Sunan Geseng yang
berasal dari Purworejo, petilasan yang terletak di ujung bukit desa setempat
itu juga dijadikan tempat ziarah dan berdoa. (Suci/red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar