PALANGKA RAYA, suarakpk.com - Pada
5 September 2019, tersebar berita bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik
Indonesia (RI) telah menyusun revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Menurut saya bahwa revisi
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi bukanlah suatu hal yang krusial untuk saat ini, mengingat kinerja
lembaga ini yang sudah memberikan hasil yang nyata terhadap pengungkapan
berbagai kasus korupsi tanpa tebang pilih.
Tindak
pidana korupsi merupakan ancaman yang sangat serius terhadap prinsip-prinsip
demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas,
serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Hal ini tentunya merugikan
pembangunan guna mencapai kesejahteraan setiap Warga Negara Indonesia,
sebagaimana dimaksud pada prinsip Sila Ke-5 Pancasila yang berbunyi “Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Kemunduran Penegakan
Hukum Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Rancangan
revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 ini, akan melemahkan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berakibat fatal terhadap pemberantasan
tindak pidana korupsi di Indonesia. Dalam rancangan revisi undang-undang
tersebut, pada Pasal 3 kedudukan KPK tidak lagi menjadi lembaga yang bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, namun telah menjadi
lembaga Pemerintah Pusat yang dalam melaksanakan tugas dan wewenang melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
bersifat independen. Hal ini berarti kedudukan KPK akan dibawah pengaruh
kekuasaan Pemerintah Pusat. Sehingga KPK tidak lagi menjadi lembaga yang
independen dalam penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Ketentuan
lain yang melemahkan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah adanya
Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR RI. Hal ini tentunya akan menghambat upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi, karena beberapa ketentuan pelaksanaan
harus berdasarkan persetujuan Dewan Pengawas KPK. Sehingga secara tidak
langsung terdapat pengaruh kekuasaan dari DPR RI, yang mengancam Independensi
lembaga tersebut. Ketentuan tersebut seperti penyadapan, penggeledahan dan
penyitaan.
Dalam
rancangan revisi undang-undang tersebut di atas pada Pasal 43 dan 45, juga
memuat ketentuan pembatasan sumber penyelidik dan penyidik, yang mana
penyelidik hanya bersumber dari Kepolisian Republik Indonesia, sedangkan
penyidik bersumber dari Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan
dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang.
Hal ini tentunya bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
110/PUU-XIII/2015, karena KPK tidak lagi memiliki wewenang mengangkat
Penyelidik dan Penyidik sendiri. Maka secara otomatis penindakan terhadap tindak
pidana korupsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang berada pada
lingkup lembaga tersebut akan berpengaruh. Di beberapa negara, lembaga tindak
pidana korupsi memperbolehkan mengangkat penyidik dari non-kepolisian seperti
Sigapura (Corrupt Practices Investigation
Bureau), Hongkong (Independent
Commission Against Corruption), Malaysia (Malaysia Anti Corruption Commission), Timor Leste (Anti Corruption Commission), dan Sierra
Lone.
Selain
itu, dalam rancangan revisi undang-undang
tersebut, pada Pasal 11 huruf b, kasus yang jadi perhatian masyarakat
tidak lagi menjadi kriteria penaganan kasus korupsi. Hal ini tentunya akan
melemahkan KPK, sehingga kekacauan akan terjadi karena polemik penyelesaian
kasus tindak pidana korupsi yang meresahkan masyarakat tidak sejalan dengan
kewenangan KPK, yang akan mengakibatkan KPK sebagai lembaga yang lumpuh.
Ketentuan
lainnya yang dimuat dalam rancangan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang akan melemahkan kinerja
KPK adalah pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN)
dilakukan di Instansi/lembaga masing-masing, sehingga KPK hanya dapat melakukan
koordinasi dan supervisi. Hal ini akan mempersulit dalam pengawasan dan
penindakan ketidakpatuhan LHKPN. Selain
itu penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung yang
akan memeperlambat penanganan perkara tindak pidana korupsi.
Maka
berdasarkan uraian tersebut di atas tentang rancangan revisi Undang-Undang KPK, menurut
saya merupakan suatu kemunduran penegakan hukum dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi yang harus di tolak oleh seluruh lapisan masyarakat yang peduli
terhadap nasib bangsa ini kedepannya. Apabila tidak ada tindakan tegas Pemerintah
Pusat untuk menolak revisi rancangan undang-undang tersebut, maka dapat
dipastikan akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap
Pemerintah Pusat, dan kesejahteraan bagi seluruh Rakyat Indonesia hanya akan
menjadi kalimat manis yang berkumandang di telinga masyarakat(ahn).
Kandoni Siringoringo
Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Palangka Raya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar