Mendengar nama
Indonesia, seperti yang kita ketahui bahwa sistem pemerintahan yang ada di
Indonesia saat ini semakin kacau dan dicurangi dengan segala cara. Pihak yang
memiliki kekayaan memanfaatkan jabatan hanya untuk kesenangan semata, tanpa
peduli dengan pihak yang kekurangan (rakyat jelata). Sebut saja salah satu
sikap buruk tersebut adalah korupsi.
Korupsi ada
sesudah dan sebelum era kemerdekaan, di era orde lama, orde baru, berlanjut
hingga era reformasi. Korupsi terjadi karena penyalahgunaan wewenang dan
jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai negara demi kepentingan pribadi
dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Berbagai
upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh dari
pulih. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan "perilaku curang,
cular, amoral" dan banyak menimbulkan tragedi yang dahsyat. Sebelum
Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh "budaya korupsi" yang tiada
henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita.
Titik tekan dalam
persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat yang belum melihat kesungguhan
pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Jika pada masa Orde Baru dan
sebelumnya korupsi lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka
pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit
virus korupsi yang ganas.
Menurut analisa
kami, setelah membaca beberapa sumber yang ada di internet bahwa kebanyakan
memang telah menyebutkan jika budaya korupsi sudah ada sejak zaman Belanda.
Kolonial Belanda telah menanamkan sistem dan pola yang sampai saat ini diadopsi
oleh masyarakat Indonesia sendiri. Berbagai lembaga pemerintahan sudah berupaya
membentuk pemberantasan korupsi. Banyak pemimpin yang memanfaatkan jabatannya
untuk mengambil semua hak yang bukan miliknya karena desakan dari keluarga,
kesenjangan sosial, dll.
Sistem
pemerintahan setiap tahunnya telah berupaya untuk memberantas korupsi,
lagi-lagi pemimpin dengan mudahnya dapat membeli hukum kita, lagi-lagi pemimpin
dapat dengan mudah untuk bebas dan tidak dihukum sehingga menimbulkan efek jera
kepada tersangka. Banyak pemimpin kita yang tidak mampu menjadi suri teladan
yang baik bagi rakyatnya, karena tolok ukur keberhasilan hidupnya diukur dari
banyaknya kekayaan (material finansial) yang ditimbunnya. Sejatinya, pemimpin
harus berani berkorban untuk rakyat, bukan mengkorup sumbangan rakyat lewat pungutan
pajak.
Mungkin tidak
banyak masyarakat yang tahu dan memahami sejarah lembaga pemberantasan korupsi
di Indonesia. Sejak tahun 1959 sesungguhnya, sejumlah lembaga telah didirikan
untuk memberantas korupsi di negeri ini. Beberapa kasus korupsi yang melibatkan
petinggi berhasil diungkap. Sebagian diseret ke pengadilan. Namun, tidak jarang
usaha itu gagal justru karena dijegal oleh penguasa sendiri.
Berdasarkan dari
berbagai sumber dan referensi yang dihimpun oleh redaksi suarakpk, berikut
Lembaga-lembaga pemberantasan korupsi yang pernah didirikan meski kemudian
dibubarkan.
Bapekan
Badan Pengawas
Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) berdiri pada awal 1959 dengan ketua Sultan
Hamengku Buwono IX dan anggota Samadikoen, Semaun, Arnold Mononutu, dan Letkol
Sudirgo. Tugasnya mengawasi, meneliti, dan mengajukan usul kepada presiden
berkaitan dengan kegiatan aparatur negara. Lingkup tugas Bapekan mencakup
aparat sipil maupun militer dalam badan-badan usaha milik negara, yayasan,
perusahaan, dan lembaga negara.
Bapekan menerima
segala macam pengaduan dari masyarakat terkait kinerja atau dugaan korupsi
aparatur negara. Mereka bisa mengirimkan pengaduannya ke alamat pos Bapekan,
Tromol No. 8 Jakarta. Melalui alamat pos itu, Bapekan menerima beragam aduan
mulai dari serdadu hingga sastrawan.
Di Jawa Timur,
kerjasama Bapekan dengan Gubernur Soewondo Ranoewidjojo amat efektif.
Koordinasi keduanya berhasil membongkar praktik korupsi di jajaran pemerintahan
hingga tingkat kecamatan. Di Jakarta, Bapekan antara lain berhasil membongkar
korupsi di Jawatan Bea Cukai sejak 1950-1960 senilai Rp40 juta.
Namun, pendirian
Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) oleh Jenderal Nasution mengurangi
ruang gerak Bapekan, keduanya bahkan hampir berkonflik. Riwayat Bapekan tamat saat
menangani dugaan-dugaan korupsi terkat pembangunan sarana olahraga untuk Asian
Games 1962. Belum sempat menyelesaikan penyelidikan atas dugaan korupsi itu,
pada 5 Mei 1962 presiden membubarkan Bapekan dengan alasan tidak diperlukan
lagi.
Paran
Banyaknya korupsi
yang dilakukan militer selepas nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda
membuat sejumlah perwira Angkatan Darat jengah. Upaya pemberantasan oleh
Jenderal AH Nasution (menteri keamanan nasional sekaligus KSAD) gagal karena
hanya bermodalkan UU Keadaan Darurat Perang.
Setelah Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, Nasution mengusulkan kepada Presiden Sukarno perlunya
pembentukan sebuah lembaga untuk membenahi birokrasi dan memberantas korupsi.
Presiden setuju dan menunjuk Nasution untuk mengonsepnya. Maka, lahirlah
Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) pada 1959. AH Nasution duduk sebagai
pimpinannya serta dibantu oleh Muhammad Yamin dan Roeslan Abdulgani. Salah satu
tugas Paran, mendata kekayaan para pejabat negara. Dari laporan kekayaan itu
Paran mengetahui banyaknya salah urus dan korupsi. Temuan-temuan itu lalu
diteruskan ke kejaksaan, pengadilan, atau kepolisian. Meski tak diketahui
berapa jumlah pasti korupsi yang dibongkar Paran, kinerja badan tersebut cukup
memuaskan.
Namun, langkah
Paran mendapat banyak rintangan. Banyak pejabat membangkang dengan tak
melaporkan kekayaan. Tak sedikit dari mereka yang langsung menyerahkan daftar
kekayaan kepada presiden. Dalih mereka, mereka bawahan presiden. “Siapa yang
bisa melawan Presiden Sukarno?” kata mantan anggota Paran Priyatna Abdurrasyid
kepada Historia.
Paran akhirnya
mengalami mengalami deadlock saat posisi AH Nasution sebagai pimpinan AD
digantikan oleh Ahmad Yani pada 1962. Sejak itu Paran semakin terkucil.
Operasi Budhi
Sebagai respons
terhadap radiogram KSAD Nasution tentang perintah kepada Kodam untuk membentuk
dan melaksanakan program Paran, Pangdam Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie langsung
membentuk Panitia Pelaksana Pendaftaran Kekayaan Para Perwira Tinggi dan
Menengah. Program terbatas itu diberi nama Operasi Budhi.
Selain menelusuri
kekayaan para perwiranya, Siliwangi juga menarik perwira-perwiranya yang gagal
menjalankan jabatan-jabatan sipil. “Adjie tak mau berkompromi dalam soal ini,”
tulis Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967.
“Operasi Budhi bukan semata untuk meningkatkan efisiensi administrasi, tapi
juga memberikan jawaban yang memadai atas tuduhan korupsi yang dilancarkan PKI
terhadap para perwira Siliwangi.”
Keberhasilan
Operasi Budhi lalu diambil-oper Nasution dan dijadikan program nasional oleh
Paran, yang kala sedang lesu. Melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963,
upaya pemberantasan korupsi kembali digeber dengan membentuk Operasi Budhi.
Nasution menjadi komandannya, dibantu Ketua Mahkamah Agung Wiryono Prodjodikusumo.
Operasi Budhi
bergerak menyasar perusahaan-perusahaan plat merah serta lembaga-lembaga negara
lainnya yang dianggap rawan korupsi. Selain berhasil memejahijaukan banyak
pejabat sipil maupun militer, dengan ganjaran paling maksimal pemecatan dan pemenjaraan.
Dalam kurun tiga bulan sejak dijalankan, Operasi Budhi menyelamatkan sekira
Rp.11 milyar uang negara. Jumlah itu setara dengan 3000 lebih sedan Mercedes
Benz. “Dulu Mercedes 3,5 juta lho harganya,” kata mantan anggota Operasi Budhi
Mohamad Achadi (menteri Transmigrasi dan Koperasi di Kabinet Dwikora I) kepada Historia.
Namun, ketika
Operasi Budhi hendak memeriksa Pertamina, Dirut Pertamina Ibnu Sutowo dan para
anggota direksinya menolak. Mereka beralasan pelaksanaan operasi belum
dilengkapi surat tugas. Operasi Budhi juga tersendat karena banyak pejabat atau
perwira yang berlindung di balik kuasa Sukarno –dengan membisikkan bahwa
Nasution dengan Operasi Budhi-nya sedang menggalang kekuatan untuk melawan
presiden– atau Ahmad Yani. Akhirnya Operasi Budhi dibubarkan pada Mei 1964.
Kotrar
Sebagai ganti dari
pembubaran Paran/Operasi Budhi, Presiden Sukarno membentuk Komando Tertinggi
Retooling Aparatur (Kotrar) pada 1964. Presiden menunjuk Soebandrio sebagai
ketuanya dan Letjen Ahmad Yani sebagai kepala staf.
Namun, alih-alih
bekerja cepat sesuai tujuan pendiriannya, Kotrar justru menjadi kendaraan
politik Soebandrio. Perbaikan administrasi pemerintahan dan pemberantasan
korupsi hampir tak tersentuh. Kotrar mengalami stagnasi hingga jatuhnya
Presiden Sukarno.
TPK
Dalam pidato
kenegaraannya pada 16 Agustus 1967, Presiden Soeharto menegaskan komitmen
pemerintahannya dalam pemberantasan korupsi yang selama itu terbengkalai.
Sebagai wujudnya, dia kemudian membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Tim
ini diketuai Jaksa Agung Sugih Arto. Anggotanya tak hanya orang-orang
Kejaksaan, tapi ada yang dari kepolisian, militer, pers, dan lain-lain.
Kasus terbesar
yang ditangani TPK adalah dugaan korupsi di Pertamina, yang melibatkan pucuk
pimpinan perusahaan plat merah itu. Menurut mantan anggota Operasi Budhi yang
juga menjadi anggota TPK Priyatna Abdurrasyid, yang sempat memeriksa Ibnu
Sutowo dan Haji Taher, hambatan pemeriksaan Pertamina amat besar. Teror kerap
menghampiri anggota pemeriksa. Suatu hari, Priyatna dicaci-maki oleh asisten
pribadi Presiden Soeharto yang mengatakan padanya bahwa presiden marah karena
menilai Priyatna lancang memeriksa Pertamina. “Ancaman fisik pun pernah saya
dapatkan. Suatu hari seorang pejabat teras Pertamina yang saya kenal datang ke kantor
saya. Di kamar kerja saya, dia membanting pistol di atas meja saya. Ditantang
begitu, darah saya naik,” ujar Priyatna kepada Historia.
Intervensi
penguasa membuat TPK gagal. Hingga tiga tahun berjalan, pengusutan terhadap
perusahaan-perusahaan negara atau institusi negara yang ditengarai menjadi
sarang korupsi seperti Bulog, Pertamina, dan Departemen Kehutanan, tidak
tuntas. Masyarakat pun mempertanyakan keseriusan pemerintah memberantas
korupsi. Mahasiswa lalu berdemonstrasi. “Ini merupakan gerakan anti korupsi
paling besar dalam 25 tahun sejarah Republik Indonesia.,” tulis Akhiar Salmi
dalam “Kebijakan Politik dalam Pemberantasan Korupsi Dari Masa ke Masa”, dimuat
di Korupsi Yang Memiskinkan. Presiden akhirnya membubarkan TPK.
Komisi Empat
Selain membubarkan
TPK, Presiden Soeharto merespon protes mahasiswa dengan membentuk Komisi Empat,
31 Januari 1970. Presiden menunjuk Moh. Hatta sebagai penasehat komisi itu dan
mantan Perdana Menteri Wilopo sebagai ketua. Tiga tokoh senior yang dianggap
bersih dan berwibawa, Prof Johannes (mantan rektor UGM), I.J. Kasimo (Partai
Katolik), dan A. Tjokroaminoto (PSII), dipercaya menjadi anggotanya.
Mayoritas
kasus-kasus yang ditangani Komisi Empat merupakan kasus-kasus korupsi yang
terbengkalai penanganannya, seperti dugaan korupsi di Pertamina. “Komisi Empat
mengemukakan bahwa PN Pertamina tidak berpegang teguh pada pasal 33 UUD 1945.
Komisi Empat juga menunjukkan beberapa penyelewengan yang dilakukan oleh PN
Pertamina. Di antara “kelalaian” PN Pertamina yang utama ialah kelemahannya
dalam mengadakan budget control,” tulis JB Sudarmanto dalam Politik
Bermartabat: Biografi IJ Kasimo.
Temuan paling
fenomenal Komisi Empat adalah kasus Presiden Direktur Pertamina Ibnu Sutowo.
Dia dicurigai memanfaatkan sebagian pendapatan perusahaan untuk tujuan politik
dan pribadi. Namun, hasil temuan itu tak mendapat respon pemerintah. “Ibnu
Sutowo tidak pernah dinyatakan merugikan keuangan negara atau melanggar hukum
pidana; kasusnya hanya dinyatakan (sebagai) hasil ‘salah manajemen’ atau salah
urus,” tulis Sudarmanto. Alih-alih memperdalam penyelidikan, tanpa alasan jelas
pemerintah malah membubarkan Komisi Empat pada 16 Juli 1970.
KPKPN
Meski singkat,
pemerintahan Presiden BJ Habibie berusaha menangani pemberantasan korupsi
dengan serius melalui pembentukan Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara.
KPKPN dibentuk berdasarkan Undang-Undang No 28/1999 tentang Penyelenggaraan
Negara. “Fungsi utama KPKPN adalah mengeluarkan formulir kekayaan yang harus
diisi oleh pejabat publik,” tulis Simon Butt dalam Corruption and Law in
Indonesia.
Dinahkodai Jusuf
Syakir, KPKPN beranggotakan 35 orang dari beragam latar belakang profesi.
Mereka menyasar semua pejabat publik, mulai anggota MPR/DPR hingga perwira
militer. “Khusus untuk pemeriksaan kekayaan anggota KPKPN sendiri akan
dikerjakan oleh auditor independen,” kata Jusuf, dimuat Panji Masyarakat,
2001.
Untuk menyiasati
kekurangan man power dan kekuatan yang dimilikinya, KPKPN membuat
pernyataan publik di media massa mengenai nama-nama pejabat yang tidak atau
belum melaporkan kekayaannya. “KPKPN menjadi salah satu lembaga anti korupsi
yang lebih efektif. Melalui publikasi tahunan pengumuman kekayaan (pejabat –red.),
KPKPN berhasil mengembangkan satu embrio budaya tanggung jawab terkait kekayaan
dan konflik kepentingan,” tulis buku Indonesia: Selected Issues. Meski
sempat tak jelas nasibnya pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, KPKPN
akhirnya melebur ke dalam Komisi Pemberantasan Korupsi.
TGPTPK
Abdurrahman Wahid
membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), dengan
ketuanya Hakim Agung Andi Andojo. Badan ini dibentuk dengan Keppres No.
19/2000. “Tim ini bertugas untuk berburu para koruptor yang diduga bersembunyi
di luar Indonesia,” tulis Diana Ria dalam KPK in Action.
Namun, legalitas
tim ini dipermasalahkan karena dasar pembentukannya berbenturan dengan UU Nomor
31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi
akhirnya membubarkan lembaga tersebut.
KPK
KPK didirikan
berdasarkan UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Taufiequrachman Ruki didapuk menjadi ketua KPK pertama. Sejak kepemimpinannya
hingga pimpinan sekarang, KPK terus bergerak cepat membongkar kasus-kasus
korupsi hingga ke pemerintah daerah.
Sepak terjang KPK
mendapat perlawanan, mulai serangan personal hingga institusional. Terakhir,
penyidik senior KPK Novel Baswedan menjadi korban penyiraman air keras lantaran
sedang mengusut korupsi besar KTP elektronik yang menyebut banyak anggota DPR.
(Sumber : historia.id/politik/articles/Oleh
Fadrik Aziz Firdausi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar