Ket.Gambar : Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (Ketum PPWI), Wilson Lalengke, S,Pd, M.Sc, MA,
JAKARTA,
suarakpk.com - Pernyataan Ketua Dewan Pers Prof. Dr. Mohammad Nuh, DEA yang
beredar di berbagai media online bahwa perusahaan pers yang telah memiliki
legalitas hukum seperti akta pendirian (PT) dan SIUP dianggap belum cukup
sehingga harus mendapat izin dari Dewan Pers. M.Nuh menganalogi Perusahaan Pers
dengan pengembang perumahan meski sudah mengantongi izin tetapi harus juga
mendapatkan pula Izin Mendirikan Bangunan atau IMB (dari Dewan Pers). Hal
tersebut disampaikan oleh M.Nuh pada saat melakukan verifikasi faktual pada beberapa
media yang ada di Makasar belum lama ini. Selain itu, M.Nuh juga mengibaratkan,
perusahaan pers sebagai keluarga sehingga yang belum mendaftar harus
segera mendaftar agar menjadi bagian dalam keluarga. Karena menurutnya, kalau
ada anak yang di luar nikah maka harus didaftar agar dapat warisan.
Pernyataan mantan Mendiknas
M.Nuh yang saat ini menjabat sebagai Ketua DP tersebut langsung menyulut reaksi
keras dari beberapa pengelola media dan organisasi pers tanah air, pasalnya, M.Nuh
dianggap telah memberikan pernyataan yang bersifat menghasut pemerintah, baik
pusat maupun daerah agar tidak melakukan kerjasama dengan pengelola media yang
belum terverifikasi DP.
Seperti yang
disampaikan oleh Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (Ketum PPWI),
Wilson Lalengke, S,Pd, M.Sc, MA kepada media, sebagai respon atas kisruh
pernyataan Ketua DP M. Nuh terkait keharusan pemerintah menolak bekerja sama
dengan media-media yang tidak terverifikasi DP.
Bagi Wilson, ucapan
provokatif seperti yang dilontarkan M. Nuh bukanlah hal baru dan luar biasa.
Dia melihatnya sebagai hal yang biasa saja, dan tidak perlu ditanggapi serius.
"Sebagai
ketua sebuah lembaga penampung para komprador yang kehilangan harga diri di
tingkat nasional, wajar saja dia cari panggung pemberitaan. Jadi, itu biasa
saja," ungkap lulusan PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu, Senin, 12
Agustus 2019.
Menurut trainer
jurnalisme warga bagi ribuan anggota TNI, Polri, guru, dosen, PNS, mahasiswa,
wartawan, ormas, dan masyarakat umum itu, DP sedang mengalami delusi akut
sebagai pejantan tangguh. Untuk itu, jebolan pascasarjana Global Ethics dari
Birmingham University Inggris itu menghimbau kepada rekan-rekan media dan
organisasi pers yang ada, agar tidak reaktif atas pernyataan sang Ketua DP itu.
"Biasa
sajalah. Semua orang tahu, apa sih prestasi M. Nuh saat jadi Mendiknas di bawah
SBY lalu? Pendidikan di negeri ini makin bobrok. Bisa dibayangkan dunia pers
kita akan makin rusak yà a," kata Wilson.
Kepada kawan-kawan
pengelola media, alumni penerima beasiswa Ford Foundation dan Erasmus Mundus
ini menghimbau agar tidak berkecil hati atas kelakuan para pengurus DP bersama
jaringan oknum organisasi pers partisannya itu.
"Saya
menghimbau kawan-kawan pengelola media, jangan sekali-sekali mengemis ke
pemerintah, jangan biarkan idealisme Anda tergerus oleh rupiah, jangan tiru
perilaku partisan kawan-kawan di dua-tiga organisasi pers anu itu yà a. Kita
harus mandiri, melalui kerja gotong-royong saling mendukung satu dengan
lainnya," imbuh Wilson lagi.
Untuk menyiasati
pembiayaan pengelolaan media, kata lelaki kelahiran Kasingoli, Morowali Utara,
Sulteng itu, setiap pewarta jangan menggantungkan hidup-mati medianya dari
bantuan atau kerjasama dengan pemerintah.
"Media dan
organisasi pers harus mengembangkan jiwa entrepreneurship anggotanya. Jangan
gantungkan nasibmu dari kerja-kerja jurnalistik belaka, tapi manfaatkan
jaringan dan aktivitas jurnalisme untuk mendapatkan peluang usaha maupun bisnis
lainnya," jelas Wilson yang merupakan salah satu pendiri SMAN Plus
Provinsi Riau dan SMK Kansai Pekanbaru belasan tahun lalu.
Sementara itu,
Wilson juga menitipkan pesan ke aparat pemerintah, terutama pemerintah daerah,
agar tidak terkecoh dan ikut genit-genitan bersama DP dan beberapa oknum
organisasi pers konstituen DP itu.
"Pemda harus
sadar, para wartawan itu adalah bagian tak terpisahkan dari rakyat di daerah
Anda masing-masing. Siapa lagi yang akan mengayomi dan memberdayakan mereka
jika bukan pemerintah daerahnya? Anda bertanggung-jawab dunia akhirat atas
rakyat yang ada di wilayah masing-masing, termasuk ribuan wartawan bersama
keluarganya itu. Jangan ikutan genit bersama si bandot birahi itu,"
pungkas Wilson yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Keluarga Alumni
Program Persahabatan Indonesia Jepang Abad 21 (Kappija-21) itu.
Ket.Gambar : Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia Hence
Mandagi
Senada dengan
Wilson, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia Hence
Mandagi juga menyesalkan pernyataan M.Nuh yang dinilai tidak memahami sejarah
dan tujuan dibentuk dan disahkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers.
“Pernyataan Ketua
Dewan Pers itu sama saja mengkhianati perjuangan para tokoh pers nasional yang
dulu susah payah menuntut Departemen Penerangan dan Dewan Pers dibubarkan
karena selama puluhan tahun dianggap telah memasung kemerdekaan pers,” urai
Mandagie melalui siaran pers yang dikirim ke redaksi, Sabtu, 10 Agustus 2019.
Tujuan
dibubarkannya Departemen Penerangan RI dan Dewan Pers ketika itu, menurut
Mandagi, salah satu alasannya adalah untuk menghapuskan syarat pendirian
perusahaan pers dari kewajiban mengantongi Surat ijin Usaha Penerbitan atau
SIUP karena dianggap terlalu berbelit-belit dan memakan waktu lama. Sulitnya
mengurus SIUP di Departemen Peneangan RI ketika itu membuat pers Indonesia
sulit berkembang.
“Kewajiban
memiliki SIUP sengaja ditiadakan oleh pemerintah pada era itu agar tidak
terjadi lagi pembredelan terhadap media massa, sehingga kemerdekaan pers yang
diperjuangkan para tokoh pers akhirnya bisa tertuang dalam Undang-Undang Pers
yang baru yakni UU Nomor 40 Tahun 1999,” ulas Mandagi.
Mandagi juga
menambahkan, pemerintah bersama seluruh insan pers ketika itu sepakat
menyederhanakan pendirian perusahaan pers agar tidak perlu ada lagi ijin berupa
SIUP demi tujuan menjamin kebebasan pers dari ancaman pembredelan media massa.
“Peniadaan Ijin
usaha penerbitan, pembubaran Departemen Penerangan dan Dewan pers pada masa itu
adalah sejarah perjuangan kemerdekaan pers yang saat ini tergerus atau
terlupakan oleh kebijakan Dewan Pers,” ujar Mandagi.
Jika sekarang ini
muncul upaya Dewan Pers menjadikan lembaganya sebagai regulator yang
mengeluarkan ijin bagi perusahaan pers, menurut Mandagi, akan sangat berbahaya
bagi kebebasan pers.
“Itu sama saja
dengan pengkhianatan terhadap perjuangan kemerdekaan pers,” tegasnya.
Mandagi juga meminta
kepada seluruh anggota Dewan Pers yang ada agar tidak mengganggu dan merusak
kemerdekaan pers yang dijamin UU Pers.
“Beginilah jadinya
jika anggota Dewan Pers yang ada sekarang dipenuhi orang-orang yang tidak
mengerti sejarah dan inti dari UU Pers itu sendiri,” ucapnya.
Mandagi
menandaskan, pengawasan dan penertiban terhadap penyalahgunaan praktek
jurnalistik oleh pengelola media massa atau perusahaan pers tidak boleh serta
merta membuat kebijakan sepihak yang justru merusak kemerdekaan pers dan hak
azasi manusia.
“Kemerdekaan pers
dijamin sebagai hak azasi warga negara diatur dalam pasal 4 UU Pers, serta
setiap warga memiliki hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang
layak juga diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 7,” urai Mandagi seraya
meminta Dewan Pers memahami hal itu agar tidak ada lagi perusahaan pers
dituding illegal atau tidak sah karena belum diverifikasi.
Untuk diketahui,
bahwa Kebebasan pers di Indonesia lahir setelah Orde Baru tumbang pada
1998 dan munculnya pasal 28 F UUD 1945, melalui amandemen kedua, yang
berbunyi, ”setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
mengungkapkan segala jenis saluran yang tersedia.”
Kendati Indonesia
menyatakan negara demokrasi, kenyataannya selama rezim Orde Baru, kebebasan
pers sebagai salah satu ciri demokrasi justru mengalami kekangan. Media
yang dinilai melanggar peraturan dan mengeritik penguasa bisa dikenakan
pembredelan. Mekanisme penerbitan media massa dikontrol melalui ”rezim SIUPP”
(Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).
Pascareformasi,
pemerintah mencabut sejumlah peraturan yang dianggap mengekang kehidupan
pers. Peraturan tersebut antara lain: Peraturan Menteri Penerangan
Nomor 1 tahun 1984 tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP), Permenpen Nomor 2 Tahun 1969 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Wartawan, Surat Keputusan (SK) Menpen Nomor 214
Tentang Prosedur dan Persyaratan untuk Mendapatkan SIUPP, dan SK Menpen Nomor
47 Tahun 1975 tentang Pengukuhan PWI dan Serikat Pekerja Surat Kabar Sebagai
Satu-Satunya Organisasi Wartawan dan Organisasi Penerbit Pers Indonesia.
Kebebasan pers ini kemudian ditegaskan lagi lewat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
UU No. 40 /1999 menggantikan Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 mengenai Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, yang ditambah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967, dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982. UU No. 40/1999 menegaskan tidak ada sensor dan pembredelan terhadap pers.
Pasal-pasal yang menegaskan kemerdekaan, fungsi dan pentingnya pers dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 adalah Pasal 2 : Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Kebebasan pers ini kemudian ditegaskan lagi lewat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
UU No. 40 /1999 menggantikan Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 mengenai Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, yang ditambah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967, dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982. UU No. 40/1999 menegaskan tidak ada sensor dan pembredelan terhadap pers.
Pasal-pasal yang menegaskan kemerdekaan, fungsi dan pentingnya pers dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 adalah Pasal 2 : Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pasal 3 ayat (1): Pers
nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan
kontrol sosial.
Pasal 6 : Pers nasional melaksanakan peranannya:
Pasal 6 : Pers nasional melaksanakan peranannya:
- memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
- menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinnekaan
- mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar
- melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan
- memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Ada pun Kemerdekaan pers diatur
dalam:
Pasal 4 ayat (1) :
Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara,
Pasal 4 ayat (2) : Terhadap
pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan
penyiaran
Pasal 4 ayat (3) : Untuk
menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Undang-Undang tentang Pers
memberi sanksi kepada mereka yang menghalang-halangi kerja wartawan.
Pasal 18 Undang-Undang tentang Pers menyatakan, "Setiap orang yang secara
melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berkaitan menghambat atau
menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta."
Walau undang-undang menjamin
kebebasan pers, tapi bukan berarti kebebasan pers di Indonesia menempati
peringkat tinggi dibanding negara lain. Pada 2017, misalnya indeks kebebasan
pers di Indonesia berada pada urutan 124 dari180 negara. Menurut lembaga
international Reporter Sans Frontiers (RSF) kebebasan pers di Indonesia jauh di
bawah negara Asia, seperti Hongkong, Jepang, dan Timor Leste.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat,
terdapat 61 kasus kekerasan terhadap wartawan sepanjang 2017. Diantaranya, 30
mengalami kekerasan fisik dan 13 kasus pengusiran dan pelarangan liputan.
(001/red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar