JAKARTA, suarakpk.com – Putusan
Pengadilan Negeri Mojokerto yang menjatuhkan hukuman tambahan kepada Kebiri Muh
Aris (20), seorang tukang las asal Dusun Mengelo, Desa Sooko, Kecamatan Sooko,
Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, menjadi terpidana pertama yang harus menjalani
hukuman kebiri kimia setelah terbukti melakukan perkosaan terhadap 9 anak.
Vonis hukuman pidana bagi predator anak itu tertuang dalam Putusan PT Surabaya
dengan nomor 695/PID.SUS/2019/PT SBY, tertanggal 18 Juli 2019. Putusan itu
menguatkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto. Putusan tersebut
mendapatkan dukungan dari Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak
Indonesia (Komnas PAI).
Dikatakan oleh Ketua Umum Komnas
PAI, Arist Merdeka Sirait, mengaku, bahwa dirinya diundang oleh Indonesia
Lawyer Club (ILC) yang ditayangkan di TV One malam ini, Selasa (27/8), untuk
mendiskusikan atas putusan PN Mojokerto.
“Komnas Perlindungan Anak diundang
untuk hadir diacara ILC malam ini untuk mendiskusikan putusan tersebut. Namun
karena hari ini saya bertugas mengisi acara HAN di Sambas Kalbar, saya hanya
bisa mengirim statement dan dokumen dokumen menyangkut gagasan kami untuk
melahirkan UU No. 17 Tahun 2016 yang mengatur tentang hukuman tambahan yakni
kebiri lewat suntik kimia,” tutur Arist melalui pesan WhatsApp nya ke redaksi
suarakpk.
Diuangkapkan oleh Arist bahwa
Putusan PN Mojokerto yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur adalah
untuk melindungi anak-anak dari kejahatan seksual dan predator fedofil bukan
untuk melanggar HAM.
“Perspektif Komnas Perlindungan Anak
adalah untuk melindungi anak dari predator kejahatan seksual yang saat ini
telah menjadi fenomena menakutkan,” ungkapnya.
Arist mengajak seluruh jajaran
pengurus Komnas Perlindungan Anak di seluruh Indonesia untuk memberikan
dukungan atas putusan Pengadilan Negeri Mojokerto.
“Ayo kita dukung putusan hukuman
kebiri itu, ini adalah perjuangan kita selama lima tahun ini, putusan PN
Mojokerto dan perintah Undang-Undang harus dan wajib dilaksanakan,” ajak Arist.
Ditegaskan oleh Arist, jika Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) menolak hukuman kebiri yang dikaitkan dengan kode etik
kedokteran dirinya memakluminya.
“Jika IDI menolak hukuman kebiri
yang dikaitkan dengan kode etik kedokteran tidak apa-apa, masih ada tenaga
medis dan ahli yang bisa ditunjuk oleh hakim,” tegas Arist.
Hal senada
juga diungkapkan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Yohana Susana Yembise mendukung vonis Pengadilan Negeri Mojokerto yang
menjatuhkan hukuman tambahan pidana kebiri kimia terhadap Aris (20), terdakwa
kasus kekerasan seksual terhadap sembilan anak sejak 2015.
"Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak tidak menoleransi segala bentuk kekerasan dan
kejahatan seksual terhadap anak," kata Yohana melalui siaran pers yang
diterima di redaksi suarakpk.com, Senin (26/8/2019).
Yohana memuji putusan hakim
Pengadilan Negeri Mojokerto atas pemberlakuan hukum pidana tanbahan berupa
pidana kebiri kepada Aris. Menurut dia, instrumen hukum untuk melindungi dan
memberikan keadilan bagi korban anak dalam kasus kekerasan seksual sudah
seharusnya digunakan aparat penegak hukum. Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Mojokerto menjadi yang pertama di Indonesia menerapkan pemberatan hukuman
dengan pidana kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Menurut
Yohana, hal itu merupakan sebuah langkah maju yang diharapkan mampu memberikan
efek jera bagi pelaku kekerasan seksual.
“Itu adalah hukuman tambahan yang
diberlakukan setelah hukuman pokok dilaksanakan, sehingga efek dari hukuman
tambahan akan bisa kita lihat setelah terdakwa menyelesaikan hukuman
pokok," kata Yohana.
Yohana mengatakan Presiden Joko
Widodo telah menyatakan bahwa kejahatan seksual terhadap anak merupakan
kejahatan luar biasa sehingga diperlukan pemberatan hukuman melalui pidana
tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, tindakan kebiri kimia, dan
pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Sebagaimana ramai diberitakan, bahwa
Muh Aris (20), seorang tukang las asal Dusun Mengelo, Desa Sooko, Kecamatan
Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, menjadi terpidana pertama yang harus
menjalani hukuman kebiri kimia setelah terbukti melakukan perkosaan terhadap 9
anak. Ia melakukan aksinya sejak tahun 2015 dan baru diringkus polisi pada 26
Oktober 2018.
Awalnya, Aris "hanya"
dikenai hukuman kurungan 12 tahun penjara dan denda Rp 100 juta, subsider 6
bulan kurungan.
Kasi Intel Kejaksaan Negeri (Kejari)
Kabupaten Mojokerto, Nugroho Wisnu mengungkapkan, jaksa sebenarnya tidak
menyertakan hukuman kebiri dalam tuntutan.
Munculnya hukuman kebiri merupakan
pertimbangan dan keputusan para hakim di Pengadilan Negeri Mojokerto.
Nugroho Wisnu mengungkapkan, putusan
pidana 12 tahun kurungan dan kebiri kimia terhadap Aris sudah inkrah
berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya.
Sementara, menanggapi putusan kebiri
kimia terhadap dirinya, terpidana Muh Aris menolak putusan tersebut dan
mengajukan banding. Namun, pada 18 Juli 2019, justru Pengadilan Tinggi Surabaya
menolak banding tersebut dan menguatkan putusan PN Mojokerto. Dia sudah tidak
mengupayakan Peninjauan Kembali (PK) terhadap perkaranya.
"Saya keberatan dengan hukuman
suntik kebiri mati. Saya menolak karena efek kebiri berlaku sampai seumur
hidup. Mending saya dihukum dua puluh tahun penjara atau dihukum mati. Setimpal
dengan perbuatan saya," ucap terpidana predator pemerkosa sembilan anak,
di Lapas Mojokerto, Jawa Timur, Senin siang (26/8).
Aris mengaku menyesal telah
melakukan pemerkosaan terhadap anak-anak di bawah umur. Namun, dia memilih
tambahan hukuman 20 tahun penjara atau dihukum mati dibadingkan disuntik kebiri
kimia.
"Tetap saya tolak. Saya tidak mau.
Kalau disuruh tanda tangan saya tidak mau tanda tangan," ucapnya.
Aris mengaku kerap melakukan
pelecehan seksual terhadap anak-anak di tempat sepi. Namun, dia melakukan
perbuatan itu dengan spontan, bukan direncanakan.
"Saya melakukan perbuatan
tersebut secara spontan. Saya bingung, mungkin karena kerasukan setan,"
imbuhnya.
Ia mengaku hanya melakukan pelecehan seksual sebanyak dua kali. Perbuatan itu dilakukannya setelah film dewasa atau berkonten pornografi. Namun, ia tidak langsung mencari anak usai menonton film porno tersebut.
Ia mengaku hanya melakukan pelecehan seksual sebanyak dua kali. Perbuatan itu dilakukannya setelah film dewasa atau berkonten pornografi. Namun, ia tidak langsung mencari anak usai menonton film porno tersebut.
"Yang melaporkan saya di pihak
berwajib cuma satu saja. Saya mengaku 11 anak usai ditanya oleh Polresta
Mojokerto. Saya sebenarnya tidak tertarik dengan anak anak. Susah mengajaknya,
ada yang saya bujuk tapi ditolak. Saya iming-imingi anak-anak dengan kasih
jajan. Saya tidak menganiaya anak-anak atau memaksa saat melakukan
perbuatan," ungkapnya.
Aris mengaku penghasilannya sebagai tukang las hanya Rp 280 ribu sepekan. Penghasilan yang minim dijadikannya alasan untuk tidak melampiaskan nafsunya kepada wanita dewasa.
Aris mengaku penghasilannya sebagai tukang las hanya Rp 280 ribu sepekan. Penghasilan yang minim dijadikannya alasan untuk tidak melampiaskan nafsunya kepada wanita dewasa.
Pemuda asal Dusun Mengelo, Desa
Sooko, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto yang kesehariannya berprofesi
sebagai tukang bengkel las tersebut, divonis terbukti bersalah melakukan
pelecehan seksual terhadap sembilan anak berusai 6-7 tahun, laki-laki dan
perempuan. Dia dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 76 D juncto Pasal
81 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak.
Terpisah, Humas Pengadilan Tinggi Surabaya Untung mengatakan, hukuman kebiri kimia yang dijatuhkan kepada terdakwa Muhammad Aris telah sesuai landasan hukum jelas dan undang-undang yang berlaku.
Terpisah, Humas Pengadilan Tinggi Surabaya Untung mengatakan, hukuman kebiri kimia yang dijatuhkan kepada terdakwa Muhammad Aris telah sesuai landasan hukum jelas dan undang-undang yang berlaku.
"Itu kebijaksanaan aparaturnya,
peraturan pelaksanaannya, bisa dilaksanakan atau tidak. Dalam hal ini kalau
pengadilan menjatuhkan putusan, kan itu kan landasan hukumnya ada. Memang
ancaman hukumnya adalah kebiri. Persoalan kebiri nanti dengan acara apa, kan
dari eksekutor," kata Untung.
Hal senada disampaikan Humas
Pengadilan Negeri Mojokerto, Erhammudin. Menurutnya, pidana tambahan berupa
kebiri kimia kepada terdakwa kasus pelecehan dan kekerasan anak, Muhammad Aris
sesuai dengan ketentuan Pasal 81 ayat 5 dan ayat 7 UU Nomor 17 Tahun 2016
tentang Perlindungan Anak.
Jadi jaksa dalam hal ini, lanjut
Erhammudin, mendakwakan untuk perkara di kabupaten Mojokerto secara
subsidiritas primer Pasal 81 76d, Pasal 81 ayat 1 subsider 76e, dan Pasal 81
ayat 1. Menurutnya, PN Mojokerto sependapat dengan penuntut umum bahwa,
terdakwa dalam perkara 69 telah melanggar ketentuan pasal 76d.
“Itu menurut majelis hakim
sependapat. Mengenai pidana tambahan kebiri kimia tersebut, berdasarkan UU
Nomor 17 Tahun 2016 dalam ketentuan Pasal 81 ayat 5 dan ayat 7 yang menyatakan
bahwa, salah satunya lebih dari satu kali, ketentuan maksimal bisa ditambah
dalam UU,” katanya.
Hukuman suntik kebiri kimia
diberikan kepada Aris karena korban lebih dari satu orang dan para korban masih
duduk di bangku sekolah TK atau SD.
“Korban rata-rata usia anak TK. Terdakwa melakukan kejahatan secara acak, keliling komplek, dan sekolahan ketemu anak kecil langsung dibekap dan pemerkosaan. Visum menyebutkan robek dan berdarah, saya anggap itu suatu kejahatan sangat serius dan harus diberikan efek jera kepada terdakwa dan pelajaran kepada masyarakat,” ungkapnya.
“Korban rata-rata usia anak TK. Terdakwa melakukan kejahatan secara acak, keliling komplek, dan sekolahan ketemu anak kecil langsung dibekap dan pemerkosaan. Visum menyebutkan robek dan berdarah, saya anggap itu suatu kejahatan sangat serius dan harus diberikan efek jera kepada terdakwa dan pelajaran kepada masyarakat,” ungkapnya.
Erhammudin menambahkan, vonis pidana
tambahan berupa kebiri kimia dinilai sebagai putusan terbaik dari hakim PN
Mojokerto. Hal itu sekaligus untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.
Dari perjalanan persidangan kasus di
pengadilan, pelecehan seksual terhadap anak-anak dilakukan Muhammad Aris sejak
2015 lalu. Modusnya, sepulang kerja menjadi tukang las dia mencari mangsa,
kemudian membujuk korbannya dengan iming-iming dan membawanya ke tempatnya sepi
untuk melancarkan niat asusilanya.
Aksi bejatnya terbongkar setelah
aksinya terekam kamera CCTV salah satu perumahan di Kecamatan Prajurit Kulon,
Kota Mojokerto, pada 25 Oktober 2018. Sehari kemudian dia diringkus polisi.
Diisolasi
Di sisi lain, Pelaksana Tugas (Plt)
Lapas kelas II B Kota Mojokerto, Tendi Kustendi, mengatakan, bahwa Muhammad
Aris selaku narapidana kasus predator anak di bawah mendapat pengawasan khusus
dari pihak Lapas Klas II B Mojokerto. Hal itu dikarenakan jenis kasus yang
dilakukannya.
Pihak lapas menempatkannya di sebuah
sel khusus untuk mencegah amukan dari para narapidana lainnnya.
"Kami memisahkan terdakwa
dengan narapidana lainnya di sel isolasi dengan pengawasan dari petugas kami.
Karena terdakwa merupakan kasus khusus. Dikhawatirkan ada warga binaan yang kecewa.
Sehingga menimbulkan rasa emosional," ungkap Tendi Kustendi.
Menurut Tendi, Aris tinggal bersama
12 narapidana lainnya di ruang isolasi tersebut dan mendapat pengawasan dari
petugas lapas. Aris akan berada di sel khusus tersebut sampai menunjukkan perubahan
perilaku dan tidak membahayakan bagi narapidana di sekitarnya.
"Selama ini, terdakwa ikut
ngaji, siraman rohani, juga beribadah, jadi tidak ada indikasi kelainan jiwa.
kalau perlakuan, kami samakan dengan warga binaan yang lain. Seperti makan, mandi
dan ibadah," imbuhnya.
Untuk pengawasan dan psikis, Aris
selaku narapidana juga diberikan konseling dan pembinaan dari wali napi.
"Sampai saat ini terdakwa
berkelakuan baik di lapas, terdakwa berperilaku diam. Mungkin terdakwa
memikirkan perbuatannya masa lalu, tapi tetap kami awasi," ujarnya.
Ia mengaku belum menerima surat
putusan atas hukuman suntik kebiri dari Kejaksaan Negeri Mojokerto.
"Pada dasarnya lapas hanya
memfasilitasi pelaksanaan hukuman kebiri. Kami cuma mengikuti saja,"
ujarnya.
Menyikapi atas putusan suntik kebiri
terhadap terpidana predatos seksual anak, Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan
Keprofesian Pengurus Besar IDI, Dr dr Pujo Hartono, di RSUD Dr Soetomo menolak
menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia terpidana kasus pelecehan seksual anak,
karena melanggar kode etik kedokteran dan sumpah dokter. Dokter yang tergabung
dalam IDI juga tak memiliki kompetensi melakukan kebiri.
"Masalah kebiri kami terikat
dengan fatwa majelis kehormatan etik Indonesia memang Kode Etik Kedokteran Indonesia
tidak memungkinkan kita melakukan atau memberikan eksekusi itu. Beresiko
sekali," kata Dr dr Pujo Hartono, di RSUD Dr Soetomo, Surabaya, Jawa
Timur, Senin (26/8).
Pujo menjelaskan, selama ini, peran
dokter saat jaksa melaksanakan atau eksekusi hukuman mati terhadap terpidana
sebatas memastikan meninggal atau belum. Dan belum ada kompetensi untuk menjadi
eksekutor hukuman suntik kebiri kimia.
"Ini memang sangat berisiko
untuk profesi," kata dia.
Pujo menegaskan mendukung kebijakan
pemerintah untuk memberikan hukuman seberatnya kepada pelaku kekerasan seksual
kepada anak. Namun, pihaknya menolak dilibatkan sebagai eksekutor hukuman
tersebut.
"Pelakunya harus dihukum
seberatnya karena dampak dan trauma kepada korban. Kami yakini itu, kami
menyarankan hukum seberatnya," tutup dia.
Menanggapi hal tersebut, Staf Khusus
Menteri Kesehatan, Prof dr Akmal Taher, SpU(K) mengatakan akan mencari jalan
keluar bersama-sama dengan IDI apabila hal tersebut bertentangan dengan kode
etik keprofesian atau melanggar sumpah jabatan kedokteran. Namun, atas perintah
pengadilan sebagaimana putusan, maka putusan itu harus dilaksanakan.
"Kalau memang seperti itu nanti
kita akan duduk sama-sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga untuk
mencari jalan keluarnya bagaimana supaya itu bisa dijalankan," ujar Akmal.
(tim/red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar