Tahukah Kalian Asal Muasal Tumpeng Di Tanah Jawa? - SUARAKPK

BERITA HARI INI

Home Top Ad


Pelantikan Presiden


 


 

Penghargaan dari Kedubes Maroko


 

27 Juni 2019

Tahukah Kalian Asal Muasal Tumpeng Di Tanah Jawa?


Meskipun tradisi tumpeng telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi tumpeng pada perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Islam Jawa, dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa.
Namun tahukah kita sebenarnya siapa yang memulai tumpeng secara islam dan bagaimana tumpengan itu sendiri, penulis mencoba menelusur beberapa sumber sejarah dan menurut penulis ini sebuah sejarah yang mengagetkan kita kaum milineal dan bisa kita renungkan. Begini ceritanya kenapa bisa ada tumpengan secara islam, berdasarkan cerita seorang ulama NU yang dikenal Gus Muwaffiq.
Dalam pengajiannya, Gus Muwaffiq menceritakan sejarah tanah jawa hingga budaya tumpeng itu ada hingga sekarang ini. Menurut Gus Muwaffiq dalam setiap pengajiannya menceritakan sejarah bahwa Jawa pada waktu itu beragama hindu. Hindu itu berprinsip yang boleh bicara agama adalah orang Brahmana, kasta yang sudah tidak membicarakan dunia.
Dibawah Brahmana ada kasta Ksatria, seperti kalau sekarang Gubernur atau Bupati. Ini juga tidak boleh bicara agama, karena masih ngurusin dunia. Dibawah itu ada kasta namanya Wesya (Waisya), kastanya pegawai negeri. Kasta ini tidak boleh bicara agama.
Di bawah itu ada petani, pedagang dan saudagar, ini kastanya Sudra . Kasta ini juga tidak boleh bicara agama. Jadi kalau ada cerita Islam dibawa oleh para saudagar, tidak bisa diterima akal. Secara teori ilmu pengetahuan ditolak, karena saudagar itu Sudra dan Sudra tidak boleh bicara soal agama.
Yang cerita Islam dibawa saudagar ini karena terlalu bingungnya memahami Islam di Indonesia. Dibawahnya ada kasta paria, yang hidup dengan meminta-minta, mengemis. Dibawah Paria ada pencopet, namanya kasta Tucca. Dibawah Tucca ada maling, pencuri, namanya kasta Mlecca. Dibawahnya lagi ada begal, perampok, namanya kasta Candala.
Akhirnya para ulama ingin mencoba mengislamkan warga yang tinggal di tempat begitu bagusnya yakni jawa. Ulama-ulama dikirim ke sini. Namun mereka menghadapi masalah, karena orang-orang disini (jawa) mau memakan manusia. Manusia jawa yang mau memakan manusia itu namanya aliran Bhirawa. Sebuah aliran yang munculnya dari Syiwa. Mengapa ganti Syiwa, karena Hindu Brahma bermasalah. Siapa itu Hindu Brahma? Dijelaskan Gus Muwaffiq bahwa hindu Brahma merupakan orang Jawa yang matinya sulit. Sebab orang Brahma matinya harus moksa atau murco. Untuk moksa harus melakukan upawasa. Upawasa itu tidak makan, tidak minum, tidak ngumpulin (bersetubuh) dengan istri, kemudian badannya menyusut menjadi kecil dan menghilang. Kadang ada yang sudah menyusut menjadi kecil, tidak bisa hilang, gagal moksa, karena teringat kambingnya, hartanya. Lha ini terus menjadi jenglot atau batara karang.
Jika anda menemukan jenglot ini, jangan dijual mahal karena itu produk gagal moksa.
Pada akhirnya, ada yang mencari ilmu yang lebih mudah, namanya ilmu ngrogoh sukmo. Agar supaya bisa mendapat ilmu ini, Hindu Brahma berguru kepada Kali atau dikenal dengan Dewi Durga. Durga itu dari Syiwa yang mengajarkan Pancamakara.
Supaya bisa ngrogoh sukmo, semua sahwat badan harus kenyang, laki-laki perempuan melingkar telanjang, menghadap arak dan ingkung daging manusia. Supaya syahwat bawah perut tenang, dikenyangi dengan seks bebas. Sisa-sisanya sekarang ada di Gunung Kemukus.
Supaya perut tenang, makan tumpeng. Supaya pikiran tenang, tidak banyak pikiran, minum arak. Agar ketika sukma keluar dari badan, badan tidak bergerak, makan daging manusia.
Dan ketika sudah pada bisa ngrogoh sukmo, maka saat sukmanya pergi diajak mencuri yang sekarang dikenal oleh orang jawa dengan nama ngepet. Sedang saat sukmanya pergi diajak membunuh manusia namanya santet. Sementara ketika sukmanya diajak pergi diajak mencintai wanita namanya pelet. Maka kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet dan ngepet.
Mendengar budaya di tanah jawa dengan ilmu demikia, maka Khalifah Turki Utsmani mengutus 1.500 ulama yang dipimpin Sayyid Aliyudin untuk mengubah budaya demikian itu, namun naas, justru para ulama tersebut habis di-ingkung oleh orang Jawa pengamal Ngrogoh Sukma. Untuk menghindari pembunuhan lagi, maka Khalifah Turki Utsmani mengirim kembali tentara ulama dari Iran, yang tidak bisa dimakan orang Jawa. Nama ulama itu Sayyid Syamsuddin Albaqir Alfarsi. Karena lidah orang Jawa sulit menyebutnya, kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan Syekh Subakir. Karena kelebihan yang dimiliki Syeh Subakir, maka Jawa ini dapat diduduki bala tentara Syekh Subakir, kemudian mereka pengamal Ngrogoh Sukma diusir.
Ada yang lari ke Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cicalap, Pelabuhan Ratu, dan Banten. Di namai Banten, di ambil dari bahasa Sansekerta, artinya Tumbal. Yang lari ke timur, naik Gunung Lawu, Gunung Kawi, Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan). Disana mereka pengamal Ngrogoh Sukma dipimpin oleh Menak Sembuyu dan Bajul Sengoro.
Karena Syekh Subakir sepuh, maka pasukannya dilanjutkan kedua muridnya namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan Mbah Brahim (Ibrahim Asmoroqondi). Mereka melanjutkan pengejaran, hingga akhirnya Menak Sembuyu menyerah, hingga anak perempuan Menak Sembuyu bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak. Dari pernikahan Mbah Ishak dengan Dewi Sekardadu dikaruniai anak yang bernama Raden Ainul Yaqin yang sekarang ini dikenal dengan nama Sunan Giri dan dimakamkan di Gresik.
Sementara sekian tahun berikutnya, sebagian pengamal Ngrogoh Sukma yang lari ke Bali, sebagian lari ke Kediri, mereka menyembah Patung Totok Kerot. Mendengar masih adanya pengamal Ngrogoh Sukma, cucu dari  Mbah Brahim yang dikenal dengan nama Sunan Bonang, hingga akhirnya pengamal Ngrogoh Sukma menyerah kepada Sunan Bonang. Setelah menyerah, oleh Sunan Bonang tradisi amalan para pengamal Ngrogoh Sukma yang sebelumnya melingkar dengan kondisi telanjang tetap dibiarkan tetapi oleh sunan boning dilarang telanjang, sedang arak diganti air biasa bisa air putih, kopi, teh, di sisi lain untuk ingkung manusia diganti dengan ingkung ayam, matra ngrogoh sukmo diganti kalimat tauhid; laailaahaillallah. Dan dari situlah tradisi tumpengan itu ada di tanah jawa dengan cara islam sebagaimana yang telah Sunan Bonang Tinggalkan hingga sekarang ini.
Namun ada juga yang memahami tumpeng menurut tradisi Islam Jawa, "Tumpeng" merupakan akronim dalam bahasa Jawa : yen metukudu sing mempeng (bila keluar harus dengan sungguh-sungguh). Lengkapnya, ada satu unit makanan lagi namanya "Buceng", dibuat dari ketan; akronim dari: yen mlebu kudu sing kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh) Sedangkan lauk-pauknya tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya Pitulungan (pertolongan). Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam surah al Isra' ayat 80: "Ya Tuhan, masukanlah aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku dengan sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang memberikan pertolongan".
Menurut beberapa ahli tafsir, doa ini dibaca Nabi Muhammad SAW waktu akan hijrah keluar dari kota Mekah menuju kota Madinah. Maka bila seseorang berhajatan dengan menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Yang Maha Pencipta agar kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari keburukan, serta memperoleh kemuliaan yang memberikan pertolongan. Dan itu semua akan kita dapatkan bila kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh.
Penyajian Tumpeng biasanya sekarang ini disajikan di atas tampah (wadah tradisional) dan dialasi daun pisang dengan nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut. Olahan nasi yang dipakai umumnya berupa nasi kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi putih biasa atau nasi uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi keturunan Jawa dan biasanya dibuat pada saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia mengenal kegiatan ini secara umum. Ada juga yang mengartikan dengan Falsafah tumpeng berkait erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama pulau Jawa, yang dipenuhi jajaran gunung berapi. Tumpeng berasal dari tradisi purba masyarakat Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam arwah leluhur (nenek moyang) dan dewa-dewa. Nasi yang dicetak berbentuk kerucut dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci. Perayaan atau kenduri adalah wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas melimpahnya hasil panen dan berkah lainnya. Karena memiliki nilai rasa syukur dan perayaan, hingga kini tumpeng sering kali berfungsi menjadi kue ulang tahun dalam perayaan pesta ulang tahun.
Dalam kenduri, syukuran, atau slametan, setelah pembacaan doa, tradisi tak tertulis menganjurkan pucuk tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang yang paling penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling dituakan diantara orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang untuk bersama-sama menikmati tumpeng tersebut. Dengan tumpeng masyarakat menunjukkan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan sekaligus merayakan kebersamaan dan kerukunan.
Memang dalam melengkapi tumpeng tidak ada lauk-pauk baku. Namun demikian, beberapa lauk yang biasa menyertai adalah perkedel, abon, kedelai goreng, telur dadar/telur goreng, timun yang dipotong melintang, dan daun seledri. Variasinya melibatkan tempe kering, serundeng, urap kacang panjang, ikan asin atau lele goreng, dan sebagainya. Dalam pengartian makna tradisional tumpeng, dianjurkan bahwa lauk-pauk yang digunakan terdiri dari hewan darat (ayam atau sapi), hewan laut (ikan lele, ikan bandeng atau rempeyek teri) dan sayur-mayur (kangkung, bayam atau kacang panjang). Setiap lauk ini memiliki pengartian tradisional dalam budaya Jawa dan Bali.
Mengenal macam-macam nama Tumpeng
• Tumpeng Robyong
Tumpeng ini biasa disajikan pada upacara siraman dalam pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di dalam bakul dengan berbagai macam sayuran. Di bagian puncak tumpeng ini diletakkan telur ayam, terasi, bawang merah dan cabai.
• Tumpeng Nujuh Bulan
Tumpeng ini digunakan pada syukuran kehamilan tujuh bulan. Tumpeng ini terbuat dari nasi putih. Selain satu kerucut besar di tengah, tumpeng ini dikelilingi enam buah tumpeng kecil lainnya. Biasa disajikan di atas tampah yang dialasi daun pisang.
• Tumpeng Pungkur
Tumpeng ini biasanya digunakan pada saat kematian seorang wanita atau pria yang masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan dengan lauk-pauk sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal dan diletakkan saling membelakangi.
• Tumpeng Putih
warna putih pada nasi putih menggambarkan kesucian dalam adat Jawa. Digunakkan untuk acara sakral.
• Tumpeng Nasi Kuning
warna kuning menggambarkan kekayaan dan moral yang luhur. Digunakan untuk syukuran acara-acara gembira, seperti kelahiran, pernikahan, tunangan, dan sebagainya.
• Tumpeng Nasi Uduk
Disebut juga tumpeng tasyakuran. Digunakan untuk peringatan Maulud Nabi.
• Tumpeng Seremonial/Modifikasi

Dirangkum dari berbagai sumber oleh :
Imam Supaat adalah Pimpinan Umum/Redaksi SUARAKPK, Sekretaris Komnas Perlindungan Anak Jawa Tengah, Bagian dari Pengurus Jam’iyah Ahli Thoriqoh Mu’tabaroh Indonesia (JATMI) Provinsi Jawa Tengah, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Provinsi Jawa Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HUT SUARAKPK Ke 9 (2018)