Meskipun tradisi
tumpeng telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi tumpeng
pada perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Islam Jawa, dan
dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa.
Namun tahukah kita
sebenarnya siapa yang memulai tumpeng secara islam dan bagaimana tumpengan itu
sendiri, penulis mencoba menelusur beberapa sumber sejarah dan menurut penulis
ini sebuah sejarah yang mengagetkan kita kaum milineal dan bisa kita renungkan.
Begini ceritanya kenapa bisa ada tumpengan secara islam, berdasarkan cerita
seorang ulama NU yang dikenal Gus Muwaffiq.
Dalam
pengajiannya, Gus Muwaffiq menceritakan sejarah tanah jawa hingga budaya
tumpeng itu ada hingga sekarang ini. Menurut Gus Muwaffiq dalam setiap
pengajiannya menceritakan sejarah bahwa Jawa pada waktu itu beragama hindu.
Hindu itu berprinsip yang boleh bicara agama adalah orang Brahmana, kasta yang
sudah tidak membicarakan dunia.
Dibawah Brahmana
ada kasta Ksatria, seperti kalau sekarang Gubernur atau Bupati. Ini juga tidak
boleh bicara agama, karena masih ngurusin dunia. Dibawah itu ada kasta namanya
Wesya (Waisya), kastanya pegawai negeri. Kasta ini tidak boleh bicara agama.
Di bawah itu ada
petani, pedagang dan saudagar, ini kastanya Sudra . Kasta ini juga tidak boleh
bicara agama. Jadi kalau ada cerita Islam dibawa oleh para saudagar, tidak bisa
diterima akal. Secara teori ilmu pengetahuan ditolak, karena saudagar itu Sudra
dan Sudra tidak boleh bicara soal agama.
Yang cerita Islam
dibawa saudagar ini karena terlalu bingungnya memahami Islam di Indonesia.
Dibawahnya ada kasta paria, yang hidup dengan meminta-minta, mengemis. Dibawah
Paria ada pencopet, namanya kasta Tucca. Dibawah Tucca ada maling, pencuri,
namanya kasta Mlecca. Dibawahnya lagi ada begal, perampok, namanya kasta
Candala.
Akhirnya para
ulama ingin mencoba mengislamkan warga yang tinggal di tempat begitu bagusnya
yakni jawa. Ulama-ulama dikirim ke sini. Namun mereka menghadapi masalah,
karena orang-orang disini (jawa) mau memakan manusia. Manusia jawa yang mau
memakan manusia itu namanya aliran Bhirawa. Sebuah aliran yang munculnya dari
Syiwa. Mengapa ganti Syiwa, karena Hindu Brahma bermasalah. Siapa itu Hindu
Brahma? Dijelaskan Gus Muwaffiq bahwa hindu Brahma merupakan orang Jawa yang
matinya sulit. Sebab orang Brahma matinya harus moksa atau murco. Untuk moksa
harus melakukan upawasa. Upawasa itu tidak makan, tidak minum, tidak ngumpulin
(bersetubuh) dengan istri, kemudian badannya menyusut menjadi kecil dan
menghilang. Kadang ada yang sudah menyusut menjadi kecil, tidak bisa hilang,
gagal moksa, karena teringat kambingnya, hartanya. Lha ini terus menjadi
jenglot atau batara karang.
Jika anda
menemukan jenglot ini, jangan dijual mahal karena itu produk gagal moksa.
Pada akhirnya, ada
yang mencari ilmu yang lebih mudah, namanya ilmu ngrogoh sukmo. Agar supaya bisa
mendapat ilmu ini, Hindu Brahma berguru kepada Kali atau dikenal dengan Dewi
Durga. Durga itu dari Syiwa yang mengajarkan Pancamakara.
Supaya bisa
ngrogoh sukmo, semua sahwat badan harus kenyang, laki-laki perempuan melingkar
telanjang, menghadap arak dan ingkung daging manusia. Supaya syahwat bawah
perut tenang, dikenyangi dengan seks bebas. Sisa-sisanya sekarang ada di Gunung
Kemukus.
Supaya perut
tenang, makan tumpeng. Supaya pikiran tenang, tidak banyak pikiran, minum arak.
Agar ketika sukma keluar dari badan, badan tidak bergerak, makan daging
manusia.
Dan ketika sudah
pada bisa ngrogoh sukmo, maka saat sukmanya pergi diajak mencuri yang sekarang
dikenal oleh orang jawa dengan nama ngepet. Sedang saat sukmanya pergi diajak
membunuh manusia namanya santet. Sementara ketika sukmanya diajak pergi diajak
mencintai wanita namanya pelet. Maka kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet
dan ngepet.
Mendengar budaya
di tanah jawa dengan ilmu demikia, maka Khalifah Turki Utsmani mengutus 1.500
ulama yang dipimpin Sayyid Aliyudin untuk mengubah budaya demikian itu, namun
naas, justru para ulama tersebut habis di-ingkung oleh orang Jawa pengamal
Ngrogoh Sukma. Untuk menghindari pembunuhan lagi, maka Khalifah Turki Utsmani
mengirim kembali tentara ulama dari Iran, yang tidak bisa dimakan orang Jawa.
Nama ulama itu Sayyid Syamsuddin Albaqir Alfarsi. Karena lidah orang Jawa sulit
menyebutnya, kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan Syekh Subakir. Karena
kelebihan yang dimiliki Syeh Subakir, maka Jawa ini dapat diduduki bala tentara
Syekh Subakir, kemudian mereka pengamal Ngrogoh Sukma diusir.
Ada yang lari ke
Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cicalap, Pelabuhan Ratu, dan Banten. Di
namai Banten, di ambil dari bahasa Sansekerta, artinya Tumbal. Yang lari ke
timur, naik Gunung Lawu, Gunung Kawi, Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan).
Disana mereka pengamal Ngrogoh Sukma dipimpin oleh Menak Sembuyu dan Bajul
Sengoro.
Karena Syekh
Subakir sepuh, maka pasukannya dilanjutkan kedua muridnya namanya Mbah Ishak
(Maulana Ishak) dan Mbah Brahim (Ibrahim Asmoroqondi). Mereka melanjutkan
pengejaran, hingga akhirnya Menak Sembuyu menyerah, hingga anak perempuan Menak
Sembuyu bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak. Dari pernikahan Mbah Ishak
dengan Dewi Sekardadu dikaruniai anak yang bernama Raden Ainul Yaqin yang
sekarang ini dikenal dengan nama Sunan Giri dan dimakamkan di Gresik.
Sementara sekian
tahun berikutnya, sebagian pengamal Ngrogoh Sukma yang lari ke Bali, sebagian
lari ke Kediri, mereka menyembah Patung Totok Kerot. Mendengar masih adanya
pengamal Ngrogoh Sukma, cucu dari Mbah Brahim yang dikenal dengan nama
Sunan Bonang, hingga akhirnya pengamal Ngrogoh Sukma menyerah kepada Sunan
Bonang. Setelah menyerah, oleh Sunan Bonang tradisi amalan para pengamal Ngrogoh
Sukma yang sebelumnya melingkar dengan kondisi telanjang tetap dibiarkan tetapi
oleh sunan boning dilarang telanjang, sedang arak diganti air biasa bisa air
putih, kopi, teh, di sisi lain untuk ingkung manusia diganti dengan ingkung
ayam, matra ngrogoh sukmo diganti kalimat tauhid; laailaahaillallah. Dan dari
situlah tradisi tumpengan itu ada di tanah jawa dengan cara islam sebagaimana
yang telah Sunan Bonang Tinggalkan hingga sekarang ini.
Namun ada juga
yang memahami tumpeng menurut tradisi Islam Jawa, "Tumpeng" merupakan
akronim dalam bahasa Jawa : yen metukudu sing mempeng (bila keluar
harus dengan sungguh-sungguh). Lengkapnya, ada satu unit makanan lagi namanya
"Buceng", dibuat dari ketan; akronim dari: yen mlebu kudu
sing kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh) Sedangkan
lauk-pauknya tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu,
maksudnya Pitulungan (pertolongan). Tiga kalimat akronim itu, berasal
dari sebuah doa dalam surah al Isra' ayat 80: "Ya Tuhan, masukanlah aku
dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku dengan sebenar-benarnya
keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang memberikan
pertolongan".
Menurut beberapa
ahli tafsir, doa ini dibaca Nabi Muhammad SAW waktu akan hijrah keluar dari
kota Mekah menuju kota Madinah. Maka bila seseorang berhajatan dengan
menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Yang Maha
Pencipta agar kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari keburukan,
serta memperoleh kemuliaan yang memberikan pertolongan. Dan itu semua akan kita
dapatkan bila kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh.
Penyajian Tumpeng
biasanya sekarang ini disajikan di atas tampah (wadah tradisional) dan dialasi
daun pisang dengan nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut. Olahan nasi
yang dipakai umumnya berupa nasi kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi
putih biasa atau nasi uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat
Betawi keturunan Jawa dan biasanya dibuat pada saat kenduri atau perayaan suatu
kejadian penting. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia mengenal kegiatan ini
secara umum. Ada juga yang mengartikan dengan Falsafah tumpeng berkait erat
dengan kondisi geografis Indonesia, terutama pulau Jawa, yang dipenuhi jajaran
gunung berapi. Tumpeng berasal dari tradisi purba masyarakat Indonesia yang
memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam arwah leluhur (nenek moyang) dan
dewa-dewa. Nasi yang dicetak berbentuk kerucut dimaksudkan untuk meniru bentuk
gunung suci. Perayaan atau kenduri adalah wujud rasa syukur dan terima kasih
kepada Yang Maha Kuasa atas melimpahnya hasil panen dan berkah lainnya. Karena
memiliki nilai rasa syukur dan perayaan, hingga kini tumpeng sering kali
berfungsi menjadi kue ulang tahun dalam perayaan pesta ulang tahun.
Dalam kenduri, syukuran, atau slametan, setelah pembacaan doa, tradisi tak tertulis menganjurkan pucuk tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang yang paling penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling dituakan diantara orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang untuk bersama-sama menikmati tumpeng tersebut. Dengan tumpeng masyarakat menunjukkan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan sekaligus merayakan kebersamaan dan kerukunan.
Dalam kenduri, syukuran, atau slametan, setelah pembacaan doa, tradisi tak tertulis menganjurkan pucuk tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang yang paling penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling dituakan diantara orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang untuk bersama-sama menikmati tumpeng tersebut. Dengan tumpeng masyarakat menunjukkan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan sekaligus merayakan kebersamaan dan kerukunan.
Memang dalam
melengkapi tumpeng tidak ada lauk-pauk baku. Namun demikian, beberapa lauk yang
biasa menyertai adalah perkedel, abon, kedelai goreng, telur dadar/telur
goreng, timun yang dipotong melintang, dan daun seledri. Variasinya melibatkan
tempe kering, serundeng, urap kacang panjang, ikan asin atau lele goreng, dan
sebagainya. Dalam pengartian makna tradisional tumpeng, dianjurkan bahwa
lauk-pauk yang digunakan terdiri dari hewan darat (ayam atau sapi), hewan laut
(ikan lele, ikan bandeng atau rempeyek teri) dan sayur-mayur (kangkung, bayam
atau kacang panjang). Setiap lauk ini memiliki pengartian tradisional dalam
budaya Jawa dan Bali.
Mengenal macam-macam nama Tumpeng
Mengenal macam-macam nama Tumpeng
• Tumpeng
Robyong
Tumpeng ini biasa
disajikan pada upacara siraman dalam pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini
diletakkan di dalam bakul dengan berbagai macam sayuran. Di bagian puncak
tumpeng ini diletakkan telur ayam, terasi, bawang merah dan cabai.
• Tumpeng Nujuh
Bulan
Tumpeng ini
digunakan pada syukuran kehamilan tujuh bulan. Tumpeng ini terbuat dari nasi
putih. Selain satu kerucut besar di tengah, tumpeng ini dikelilingi enam buah
tumpeng kecil lainnya. Biasa disajikan di atas tampah yang dialasi daun pisang.
• Tumpeng
Pungkur
Tumpeng ini
biasanya digunakan pada saat kematian seorang wanita atau pria yang
masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan dengan lauk-pauk sayuran.
Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal dan diletakkan saling membelakangi.
• Tumpeng Putih
warna putih pada
nasi putih menggambarkan kesucian dalam adat Jawa. Digunakkan untuk acara
sakral.
• Tumpeng Nasi
Kuning
warna kuning
menggambarkan kekayaan dan moral yang luhur. Digunakan untuk syukuran
acara-acara gembira, seperti kelahiran, pernikahan, tunangan, dan sebagainya.
• Tumpeng Nasi
Uduk
Disebut juga
tumpeng tasyakuran. Digunakan untuk peringatan Maulud Nabi.
• Tumpeng Seremonial/Modifikasi
• Tumpeng Seremonial/Modifikasi
Dirangkum dari
berbagai sumber oleh :
Imam Supaat adalah
Pimpinan Umum/Redaksi SUARAKPK, Sekretaris Komnas Perlindungan Anak Jawa
Tengah, Bagian dari Pengurus Jam’iyah Ahli Thoriqoh Mu’tabaroh Indonesia
(JATMI) Provinsi Jawa Tengah, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Persatuan Pewarta
Warga Indonesia (PPWI) Provinsi Jawa Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar