Ket Gambar : Ilustrasi
Mungkin akan ada yang merasa tersinggung dengan membaca tulisan ini, dan tentu akan bertanya, siapa yang menulis bahkan berani mengkritik ulama, seperti orang kurang kerjaan saja, emang penulis ini siapa, dan tamatan pondok mana?
Namun penulis atau saya karena kebodohan dan terlalu dangkalnya ilmu, hanya melihat dari realita yang ada di jaman sekarang ini, diakui atau tidak diakui, bahwa banyak manusia lupa akan apa itu kehidupannya, lupa akan sejarah hidupan, bahkan tidak sedikit dari sekian manusia di jaman sekarang ini tidak tahu tujuan hidupnya bahkan sekelas ulama sekalipun, walau saya juga mengakui masih banyak ulama atau kyai yang lebih memilih istiqomah dalam kehidupannya. Dan selain itu, memang kita akui bersama ketika kita ditanya apakah tujuan hidupmu ke depan, pasti akan banyak yang menjawab bahwa tujuan hidupnya adalah sebuah kesuksesan dalam menjalani kehidupan, sehingga mereka akan merasa harus bekerja keras agar memperoleh penghasilan yang besar, namun secara perlahan mereka akan lupa apa itu hidup dan kehidupan.
Namun penulis atau saya karena kebodohan dan terlalu dangkalnya ilmu, hanya melihat dari realita yang ada di jaman sekarang ini, diakui atau tidak diakui, bahwa banyak manusia lupa akan apa itu kehidupannya, lupa akan sejarah hidupan, bahkan tidak sedikit dari sekian manusia di jaman sekarang ini tidak tahu tujuan hidupnya bahkan sekelas ulama sekalipun, walau saya juga mengakui masih banyak ulama atau kyai yang lebih memilih istiqomah dalam kehidupannya. Dan selain itu, memang kita akui bersama ketika kita ditanya apakah tujuan hidupmu ke depan, pasti akan banyak yang menjawab bahwa tujuan hidupnya adalah sebuah kesuksesan dalam menjalani kehidupan, sehingga mereka akan merasa harus bekerja keras agar memperoleh penghasilan yang besar, namun secara perlahan mereka akan lupa apa itu hidup dan kehidupan.
Memang saya
ini bukanlah seorang santri lulusan pondok, tapi saya yakin bahwa saya adalah
santri kehidupan dalam dunia ini, seorang santri yang selalu merasa bodoh sehingga
saya pun tidak akan malu jika memang saya diejek bodoh.
Seperti
yang kita lihat, kita dengarkan dari berbagai sumber, khususnya dari sosmed dan dari youtube,
dimana para ulama akhir-akhir ini saling menyerang, saling mencari kelemahan masing-masing, hingga
penggunaan kata kata yang kurang bermoral, mulai dari ungkapan kata jalanan bahkan kadang menggunakan kalimat yang kurang baik jika didengar oleh anak-anak, dimana
di jaman kecil saya, kata atau kalimat tersebut merupakan kata yang tabu dan kurang
bermoral.
Di sinilah,
saya terinpirasi dari sikap-sikap para ulama yang saat ini berbeda pandangan dalam
politik praktis, yang akhirnya mendorong saya untuk menggoreskan pena hingga menjadi sebuah tulisan ini. Kita akui maupun tidak akui, para ulama yang semestinya
menjadi teladan bagi umat di jalan Allah SWT, namun saat ini justru tanpa beliau beliau sadari dengan keilmuannya justru saling
mengajarkan dendam antar umat, memecah umat.
Saya jadi
teringat dengan apa yang pernah saya dengar dan saya baca dari sebuah karya Gus Mus
yang menceritakan tentang Gus Ja’far dengan Kyai Tawakal dimana dalam tulisan tersebut, Kyai Tawakal mengingatkan Gus Ja’far mengenai sebuah pesan moral yang
bijaksana dan menyejukkan dan memotivasi mindset atau pola pikir yang membaca dan mendengarnya untuk selalu ingat siapa diri kita sesungguhnya.
“Apa yang
kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening.” kata
Kyai Tawakal kepada Gus Ja’far.
Seperi dituliskan oleh Gus Mus, bahwa Gus Ja'far
adalah putra dari ulama besar Kyai Soleh, pengasuh pondok pesantren besar
Sabilul Muttaqin, Pasuruan. Meski demikian tapi justru Kyai Soleh yang hormat
dan segan pada anaknya dan menyebutnya sebagai "lebih tua" darinya. Semua
orang juga hormat dan segan pada Gus Ja'far.
Lalu apa
yang kita lihat para ulama sekarang ini, dimana para ulama merupakan para ahli
Al Quran dan memahami isi dan makna pesan moral yang tertulis dalam Al Quran
yang selalu mengajarkan kedamaian pada umatnya, namun saat ini, para ulama dan
atau yang mengaku jadi ulama saling menyerang, dan anehnya, para jamaahpun
mengaminin masing-masing ulama yang sedang tauziah dalam pengajian sesuai
versinya masing-masing.
Seolah
para ulama sekarang lupa, apa yang sedang dicari para ulama dalam kehidupan
duniawi ini, seolah di dunia ini para ulama sekarang ini paling benar dan
paling memahami Allah, mereka lupa bahwa semua yang mereka perdebatkan dan atau
pertentangkan hanyalah sebuah emosional atau yang disebut dalam Bahasa ulama
adalah nafsu duniawi.
Saya jadi
teringat kembali dengan apa yang dinasehatka Kyai Tawakal pada Gus Ja’far. Masyarakat
Pasuruan pasti mengenal siapa itu Gus Ja’far, dan bagaimana penampilan sosok
Gus Ja’far. Beliau berpenampilan seperti
gelandangan atau orang gila. Rambutnya gondrong, tak terurus dan awut-awutan.
Suka bertelanjang dada atau hanya memakai kaos oblong kutung / tanpa lengan dan
celana pendek dekil saja. Namun Gus Ja’far tetap mengajarkan kebaikkan.
“Kita tahu,
sebagaimana neraka dan sorga, serta aku ini adalah milik Allah. Maka terserah
kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke surga atau neraka. Untuk
memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan
alasan. Sebagai kyai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke
surga kelak? “ tanya Kyai Tawakal atau yang dikenal dengan panggilan Mbah Jogo.
Di sinilah,
pesan Kyai Tawakal yang mendorong saya untuk menulis dan mungkin lancang mengingatkan
para ulama, bahwa tidak ada satupun manusia di dunia ini yang dapat menjamin dirinya
masuk surga atau neraka. Karena menurut hemat saya, baik untuk kita, belum tentu
baik untuk orang lain, atau baik untuk kita, baik untuk orang lain, namun belum
tentu baik di hadapan Allah SWT.
Seperti yang
dipesankan oleh Kyai Tawakal yakni, “Kita berbuat baik karena kita ingin
dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita tidak
berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun
berasal dari-Nya.?” pesan Kyai Tawakal pada Gus Ja’far.
Bahkan,
saat ini banyak ulama yang memang terkadang tidak mampu mengendalikan ucapannya
saat berdakwah dihadapan para jamaah, dimana ulama pasti juga tahu, jamaah
pengajiannya, tidak hanya orang dewasa, namun juga ada anak-anak di sana. Apalagi
saat ini, setiap dakwahnya divideokan dan dengan mudah diposting di sosmed atau
diunggah di Youtube. Para ulama dengan enteng seolah paling benar dan paling
memahami atas apa yang beliau-beliau dakwahkan. Ulama kadang tidak terfikirkan
efek moral yang beliau ucapkan dihadapan puluh, ratusan hingga ribuan
jamaahnya, saling serang antar ulama bahkan kadang muncul kata-kata jorok dari
ucapannya, yang diperdengarkan juga di telinga anak-anak secara langsung yang
mengikuti pengajian, atau anak-anak dibawah umur yang melihat tayangan videonya
di youtube.
Lagi-lagi
saya teringat sebait kalimat pesan dari Kyai Tawakal yang mungkin bisa
mengguggah kalbu terdalam para ulama sehingga beliau dapat merenungkan,
sudahkan benar apa yang beliau ucapkan dalam dakwah dan diperlihatkan dalam
video yang diunggah di sosmed atau youtube.
Kira-kira
seperti ini sebait kalimat yang diucapkan oleh Kyai Tawakal saat mengingatkan
Gus Ja’far, “Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa
anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan
yang berupa penderitaan.”
Satu
rangkaian kalimat tersebut walaupun singkat, namun memiliki makna yang sangat
mendalam jika kita yang mengaku mengharap ridho Allah SWT dan menjadi yang baik
dihadapan Allah SWT. Tentu dengan pesan tersebut, para ulama dapat lebih
istiqomah dan dapat menjalin perdamaian, kembali memperjuangkan moralitas atau
akidah umat, khususnya moralitas anak-anak yang merupakan pewaris keadaan kita
sekarang ini.
Selain
itu, saya juga membaca pesan dari Kyai Tawakal yang mengingatkan Gus Ja’far
tentang sikap takabur, atau sombong karena kebanyakan ulama diberikan kelebihan
oleh Allah dan tentu kelebihan tersebut pasti juga diakui banyak orang. Berbeda
dengan orang yang hidupnya masih susah, sebab, menurut Kyai Tawakal, kepada Gus
Ja’far, bahwa “kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan
bersikap takabbur; ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri
sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan: godaan
untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan
dan kelebihan itu diakui oleh banyak orang.”
Dan saya
juga pelan-pelan menyadari bahwa apa yang saya peroleh pesan moral saat saya
belajar mengenal alam melalui naik turun gunung, keluar masuk makam waliullah,
terdengar jelas di telinga saya dengan kalimat, “ngger, siro elingo yo, lelaku
uripmu sak iki iku kudu urup, amergo, urip ing mongso sak iki, wes akeh
manungso sing cidro marang uripe, akeh kyai sing ilang kyaine, akeh ulama wes
ilang ulamane, kabeh wus rumongso bener, rumongso sing paling ngerti, seneng
nyilike liyan. Mulo ngangsu urip iku kudhu sing bener lan pener, wong pinter
ora mesti ngerti, wong ngerti ora mesti mudeng.”
(nak, kamu ingat ya, perjalanan hidupmu
sekarang ini, itu harus hidup, karena hidup di jaman sekarang ini, sudah banyak
manusia yang melupakan kehidupannya, banyak kyai yang kehilangan kekyaiannya,
banyak ulama yang kehilangan sifat keulamaannya, semua sudah merasa benar,
merasa yang paling mengerti, suka mengecilkan orang lain. Maka menimbalah
kehidupan itu harus benar dan tepat, orang pintar tidak pasti mengetahui, orang
mengetahui tidak pasti memahami.” setidaknya itu yang sering saya dengar saat
saya ziaroh atau bermeditasi di alam, mulai dari Puncang Gunung Tidar, gua Eyang
Sampurnodjati di Gunung Dieng, saat menyendiri di puncak suroloyo kulonprogo
DIY, di gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Prahu, Gunung Arjuno, Gunung
Ungaran, Gunung Lawu, Gunung Kelud, Gunung Wilis, Gunung Pandreman, Gunung
Banyak, Gunung srandil, Gunung Gumitir, Gunung Andong, Gunung Muria khususnya
di makam Syeh Sazali Rejenu, Alas Ketonggo, Alas Purwo, Makam Syeh Asmorokandi,
Makam Sunan Bonang, Makam Sunan Ampel, Makam Sunan Kalijogo, Makam Sunan Giri,
Makam Syeh Maulana Malik Ibrahim, Makam Joko Tingkir, petilasan Prabu
Brawijaya, Petilasan Empu Supo, dana petilasan-petilasan lainnya yang tidak
bisa saya tuliskan di sini. Dari semua tempat tersebut nasehat yang saya dengar
secara jelas selalu terdengar.
Maka melalui tulisan ini, sekali lagi, saya
yang bodoh dan dangkal ini dan tidak pernah mondok atau nyantri di pondok pesantren manapun
hanya mengengadahkan kedua tangan saya untuk memohon kepada para ulama, kembali
pada dakwah menyebarkan kebenaran dan menyejukkan umat, dan mohon para ulama da’i
agar memilih kata atau kalimat yang mungkin lebih bijak dan yang baik untuk
didengarkan oleh anak-anak di bawah umur saat berdakwah, memang saya sangat
memahami, bahwa di jaman sekarang ini, para jamaah menyukai hal-hal yang lucu,
namun lucu bukan artinya harus dengan yang saru.
Dengan segala kerendahan hati, saya sangat
memohon maaf kepada para ulama jika tulisan ini menyinggung hati dan dinilai
kurang sopan pada para ulama di Indonesia. Sekali lagi, saya mohon maaf, saya
hanya berharap agar ulama kembali melanjutkan perjuangan Rosulullah SAW, dalam
menata aqlak atau moral umat manusia. Karena disadari atau tidak disadari bahwa
kita semua saat ini masih hidup di jaman Rosulullah SAW.
Penulis Imam Supaat adalah Pimpinan Umum/Redaksi
SUARAKPK, Sekretaris Komnas Perlindungan Anak Jawa Tengah, Bagian dari Pengurus
Jam’iyah Ahli Thoriqoh Mu’tabaroh Indonesia (JATMI) Provinsi Jawa Tengah, Ketua
Dewan Pimpinan Wilayah Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Provinsi Jawa
Tengah.
Imam Supaat kelahiran Kota Salatiga, darah dari bapaknya yang berasal dari Desa Lukrejo, Kecamatan Kalitengah,
Kab.Lamongan, Jawa Timur. Saat ini tinggal di Perum Pepabri RT.04 RW.07
Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, Jawa Tengah.
Saya sangat setuju dengan komentar bapak tentang ulama saat ini semoga tulisan bapak di baca oleh ulama ustadz
BalasHapus