Oleh : Alfurkon Setiawan
Pembangunan perbatasan, termuat dalam
poin ketiga dari Nawacita. Presiden Jokowi-JK menebalkan prase
“membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan
desa dalam rangka negara kesatuan”.
Pembangunan tidak lagi terpusat di
perkotaan (Sentralisasi), melainkan harus dilakukan menyebar di seluruh
pelosok Indonesia (Desentralisasi).
Pada hakekatnya, pembangunan daerah merupakan kewenangan dari pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, sedangkan pemerintah berfungsi sebagai motivator dan fasilitator dalam percepatan pembangunan daerah tertinggal. Namun demikian, pembangunan daerah tertinggal tidak mungkin berhasil tanpa dukungan dan kerja keras para pemangku kepentingan (stakeholders).
Pada hakekatnya, pembangunan daerah merupakan kewenangan dari pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, sedangkan pemerintah berfungsi sebagai motivator dan fasilitator dalam percepatan pembangunan daerah tertinggal. Namun demikian, pembangunan daerah tertinggal tidak mungkin berhasil tanpa dukungan dan kerja keras para pemangku kepentingan (stakeholders).
Setiap daerah tidak harus sama dalam
melaksanakan pembangunan, perbedaan dalam pembangunan memang perlu
dilakukan, demi mengakomodir karakteristik dan kemampuan masing-masing
wilayah.
Membangun daerah pinggiran, bukan saja
terkait kewilayahan atau geografis daerah daerah yang berdekatan dengan
perbatasan negara tetangga, tetapi juga soal manusia yang terpinggirkan
dan kurang mampu secara ekonomi. Pinggiran juga menunjukan kondisi masih
minimnya pembangunan di wilayah tersebut. Hal ini, sebagai dampak dari
pembangunan yang selama ini hanya menitikberatkan pada kawasan
perkotaan, yang dianggap sebagai pusat pertumbuhan.
Untuk mendukung peningkatan pembangunan
fisik di daerah, Pemerintahan Jokowi meningkatan anggaran transfer ke
daerah dan dana desa dari tahun ke tahun. Peningkatan alokasi dana desa
secara bertahap ini, sekaligus untuk memenuhi amanat UU Nomor 6 Tahun
2017 tentang Desa.
Langkah yang paling tepat untuk
membangun dari pinggiran adalah dengan membangun jalan raya, untuk
meningkatkan akses konektivitas. Konektivitas yang terjadi nantinya akan
mengakselarasi pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut. Pembangunan
jalan raya di perbatasan akan memudahkan pengawasan, sehingga wilayah
Indonesia di perbatasan tidak lagi diklaim sebagai milik negara
tetangga.
Kebijakan Presiden Jokowi membangun
Indonesia dari pinggiran sangatlah tepat. Daerah pinggiran yang
berbatasan langsung dengan negara negara tetangga, harus menjadi titik
perhatian utama pemerintah. Tidak hanya membangun jalan, pemerintah
harus mendirikan puskesmas, sekolah, pasar, pembangkit listrik dan
infrastruktur lainnya, sehingga masyarakat yang tinggal di perbatasan
mendapat jaminan mata pencarian, akses kesehatan, akses pendidikan, dan
akses penerangan listrik. Wajah perbatasan Indonesia, harus lebih baik
dari negara tetangga.
Menurut Kartasasmita, bahwa hakekat
pembangunan nasional adalah manusia Indonesia itu sendiri, yang
merupakan titik pusat dari segala upaya pembangunan dan yang akan
dibangun adalah kemampuan dan kekuatannya sebagai pelaksana dan
penggerak pembangunan.
Konsep Pentingnya Membangun Dari Pinggiran Desa
Konsep “membangun dari pinggiran” ramai
dibicarakan publik sejak tahun 2014, ketika Ir. Joko Widodo, mencalonkan
Presiden, dengan mencanangkan serangkaian agendanya yang dikenal dengan
nama “Nawa Cita” (sembilan Agenda). Agenda “membangun dari pinggiran”
muncul pada urutan ke tiga, selengkapnya berbunyi “Membangun Indonesia
dari pinggiran dengan memperkuat daerah daerah dan desa dalam kerangka
negara kesatuan”. Konsep tersebut, sangat menarik untuk ditinjau dari
berbagai perspektif ilmu ekonomi regional, konsep tersebut menjadi
istimewa karena tergolong amat langka dan amat jarang didiskusikan dalam
forum forum akademis.
Dalam masa lima tahun pemerintahannya,
Presiden Joko Widodo akan memberikan perhatian khusus untuk membangun
daerah daerah pinggiran yang selama ini tertinggal. Tekad Jokowi
tersebut, sejalan dengan butir ketiga “Nawa Cita” yakni membangun
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah daerah dan desa dalam
kerangka negara kesatuan.
Pembangunan pedesaan, tidak bisa
dipisahkan dari gagasan kemandirian bangsa. Seperti kita tahu, bahwa
Mahatma Gandhi membebaskan India dari belenggu kolonial Inggris, antara
lain melalui Swadeshi.
Gandhi mendorong kemandirian ekonomi
lokal, bahwa sampai tingkat desa. Gandhi memutarbalikan konsep produksi
kolonial Inggris yang cenderung tersentral, padat modal,
terindustrialisasi dan mekanis. Gandhi menentang “produksi massal” yang
merendahkan martabat manusia, sebaliknya menyarankan” produksi oleh
massa (rakyat).
Kemandirian desa dicerminkan oleh semua
jenis profesi, seperti : tukang kayu, pande besi, pemahat, mekanik,
petani, nelayan, pembuat kue, penenun, guru, bankir, pedagang, pemusik,
seniman dan ulama. Desa adalah miniatur negeri.
Prioritas Pembangunan di Perdesaan
Sesuai amanat UU No. 6 Tahun 2014
tentang Desa, pembangunan perdesaan ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa. Caranya, dengan
mendorong pembangunan desa desa mandiri dan berkelanjutan yang memiliki
ketahanan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Upaya mengurangi kesenjangan
antara desa dan kota dilakukan dengan mempercepat pembangunan desa desa
mandiri serta membangun keterkaitan ekonomi lokal, antara desa dan kota
melalui pembangunan kawasan perdesaan.
Desa sebagai isu besar pembangunan dari
pinggiran, tentu saja membuat banyak para pihak berharap besar. Terutama
masyarakat desa yang jauh dari pusat kota, yang selama ini
dianaktirikan. Sikap Pemerintah pusat terhadap daerah tersebut, semakin
tidak terbantahkan ketika berbagai program pemerintah di gelontorkan ke
desa, sehingga isu desa masuk ke ruang publik disaat pemerintah
mengucurkan anggaran negara melalui dana desa dan alokasi dana desa.
Desa adalah sebuah kawasan yang sering
dipersepsikan orang kota sebagai tempat yang nyaman dan indah. Meski
kadang menyimpan sebuah potret buram kemiskinan. Citra buruk itulah yang
hendak dihapus oleh Pemerintah. Untuk itu, mulai tahun 2015 pemerintah
secara bertahap menjalankan amanat yang tertera pada undang-undang
tentang desa. Di dalamnya ada kewajiban pemerintah memberikan dana
desa.” Dana desa yang akan dikucurkan yaitu sebesar Rp. 20 trilliun,”
tegas Bambang Brodjonegoro, Menteri Keuangan RI, di Jakarta akhir tahun
(24/12/2014).
Menurut Menteri Koordinator Bidang
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani, bahwa tekad
membangun desa itu sejalan dengan upaya pemerintah dalam mewujudkan
program “Nawa Cita” yang salah satunya adalah membangun Indonesia dari
pinggiran, dengan cara memperkuat daerah daerah dan desa dalam rangka
NKRI.
“Pembangunan desa harus menjadi
prioritas dalam pembangunan nasional, karena sangat terkait dengan upaya
membangun Indonesia dari pinggiran dengan cara memperkuat daerah
daerah,” kata Puan saat meluncurkan Gerakan Pembangunan Desa Semesta di
kantor Kemenko PMK, Jakarta (7/4/2015).
Pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat untuk membangun Indonesia dari segala bidang, secara menyeluruh, adil dan merata. Hal ini selarah dengan semangat Nawacita, bahwa pembangunan ditujukan untuk mewujudkan kedaulan politik, kemandirian ekonomi dan kepribadian di bidang kebudayaan. Pembangunan desa menjadi suatu prioritas pemerintah saat ini, sebagaimana tertuang dalam Nawacita ketiga. Selain itu, untuk menjembatani kesenjangan antar-wilayah. Hal tersebut dimaksudkan agar pembangunan dapat secara langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan, khususnya di daerah tertinggal, terdepan dan terluar.
Pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat untuk membangun Indonesia dari segala bidang, secara menyeluruh, adil dan merata. Hal ini selarah dengan semangat Nawacita, bahwa pembangunan ditujukan untuk mewujudkan kedaulan politik, kemandirian ekonomi dan kepribadian di bidang kebudayaan. Pembangunan desa menjadi suatu prioritas pemerintah saat ini, sebagaimana tertuang dalam Nawacita ketiga. Selain itu, untuk menjembatani kesenjangan antar-wilayah. Hal tersebut dimaksudkan agar pembangunan dapat secara langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan, khususnya di daerah tertinggal, terdepan dan terluar.
Jadi UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa,
menjadi tonggak perubahan pradigma pengaturan desa. Desa tidak lagi
dianggap sebagai obyek pembangunan, melainkan ditempatkan menjadi subyek
dan ujung tombak pembangunan dalam peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Desa mempunyai kewenangan untuk mengatur sendiri pembangunan
yang dilakukan diwilayahnya. Tujuan dari semua itu, tidak lain adalah
untuk memudahkan desa mewujudkan kesejahteraan bagi warganya.
Ketimpangan pembangunan antara Jawa
dengan luar Jawa, kota dengan desa harus segera diatasi. Harus ada
pemerataan pembangunan di daerah-daerah atau desa-desa, guna menekan
perpindahan penduduk desa ke kota sekaligus menekan segala macam konflik
yang disebabkan oleh urbanisasi ini. Urbanisasi akan menyebabkan dua
hal yaitu permasalahan di desa asal dan juga permasalahan di kota
sebagai daerah tujuan. Ada banyak masalah sosial budaya akibat dari
perpindahan penduduk ini yang terjadi di dua lokus itu (desa dan kota).
Sehingga semakin besarnya arus urbanisasi dari desa-kota, maka akan
menyebabkan timbulnya ketidakmerataan persebaran penduduk antar desa dan
kota.
Suatu pembangunan akan tepat mengenai
sasaran, terlaksana dengan baik dan dimanfaatkan hasilnya, apabila
pembangunan yang dilakukan tersebut benar-benar memenuhi kebutuhan
masyarakat. Untuk memungkinkan hal itu terjadi, khususnya pembangunan
perdesaan, mutlak diperlukan pemberdayaan masyarakat desa mulai dari
keikutsertaan perencanaan sampai pada hasil akhir dari pembangunan
tersebut.
Semoga tidak terjadi perbedaan yang signifikan antara pembangunan di perkotaan dengan pembangunan di perdesaan.
Semoga tidak terjadi perbedaan yang signifikan antara pembangunan di perkotaan dengan pembangunan di perdesaan.
*) Penulis adalah : Asisten Staf Khusus Presiden.
sumber : Humas Setkab RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar