JAKARTA, suarakpk.com - Didera kasus dugaan kriminalisasi, terkait dengan pelaporan Ir. Faaz di Polres Bantul, laporan polisi Faaz dengan nomor: LP/109/V/2017/SPKT tertanggal 24 Mei 2017 dengan tuduhan Ir.Soegiharto Santoso alias Hoky telah melakukan penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 KUHP.
Ir.Soegiharto Santoso
alias Hoky yang menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Komputer
Indonesia (APKOMINDO) dan juga sebagai Anggota Persatuan Pewarta Warga
Indonesia (PPWI) terus-menerus dipaksa untuk bertarung dalam permasalahan
hukum, baik perdata maupun pidana, terkait kedudukannya sebagai Ketua Umum
organisasi para pengusaha komputer itu.
Hokypun telah ditetapkan
sebagai tersangka berdasarkan surat panggilan Polres Bantul nomor:
S.Pgl/288/X/2018/Reskrim, tertanggal 27 Oktober 2018 yang ditandatangani oleh
Kasat Reskrim Polres Bantul, AKP Rudy Prabowo, SIK, MM dan pada tanggal 01
November 2018 yang lalu diminta hadir menemui IPTU Muji Suharjo SH atau
Brigadir Hartono di Kantor Satuan Reskrim Polres Bantul lantai II unit II.
Penetapan tersangkanyapun
menurut Hoky terkesan dipaksakan dan diduga kuat sengaja dimunculkan sebagai
upaya pihak lawan menghancurkan reputasi dan nama baiknya, dan diduga ini
merupakan rangkaian upaya kriminalisasi jilid 2 terhadap dirinya, sehingga ia
menyatakan keberatan untuk hadir pada pada tanggal 01 November 2018 lalu.
Dengan telah ditetapkan sebagai
tersangka, Hoky akhirnya melakukan upaya hukum dengan mengajukan permohonan
praperadilan terhadap Kapolres Bantul ke PN Bantul dengan perkara Nomor:
3/Pid.Pra/2018/PN Btl.
Dikatakan Hoky, upaya
hukumnya, memiliki tujuan tersendiri untuk penegakan hukum dan perlindungan hak
asasi manusia dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan dapat berjalan sesuai
amanat konstitusi negara Indonesia.
Upaya hukum tersebut
didasarkan pengalamannya telah mengalami kriminalisasi jilid pertama dan sempat
ditahan secara sewenang-wenang selama 43 hari di Rutan Bantul oleh oknum
penegak hukum yang diduga turut terlibat pada proses kriminalisasi tersebut
beberapa waktu lalu.
“Penetapan sebagai
tersangka, terkesan sangat dipaksakan oleh penyidik, sebab Laporan Polisi Nomor
LP/109/V/2017/SPKT, tertanggal 24 Mei 2017 di Polres Bantul, yang dilakukan
oleh pelapor bernama Faaz sesungguhnya masih bersifat prematur dan/atau sumir
secara hukum untuk dilakukan penyidikan. Karena fakta hukum membuktikan
penyidik belum memperoleh bukti permulaan yang cukup," kata Hoky.
Dirinya mengaku
keberatan dengan adanya penetapan sebagai tersangka, sebab menurutnya tidak ada
fakta penganiayaan yang didalilkan oleh pelapor (Faaz - red) yang katanya
terjadi di depan Lobby Utama PN Bantul pada tanggal 10 Mei 2017. Laporan
pengaduan kepada Polres Bantul baru dilakukan pada tanggal 24 Mei 2017, yang
secara formil hukum, menurut Hoky, untuk sebuah laporan tindak pidana
penganiayaan tentunya diperlukan adanya surat keterangan Visum et Repertum dari
pihak kedokteran untuk mendukung laporan pengaduan dimaksud.
"Laporan Faaz
diduga kuat dilatarbelakangi adanya indikasi permufakatan jahat yang
ditunggangi pihak ketiga, yang menginginkan perampasan hak dan kemerdekaan saya
melalui transaksi hukum dan penyalahgunaan kewenangan hukum dan lembaga
peradilan, terkait dengan kedudukan saya selaku Ketua Umum APKOMINDO. Apalagi
diketahui selain laporan di Polres Bantul tersebut, sebelumnya ada 4 LP lainnya
yang seluruhnya hasil rekayasa hukum, antara lain; Laporan Polisi Nomor: LP
503/K/IV/2015/-RESTRO Jakpus, Laporan Polisi Nomor: LP/670/VI/2015/Bareskrim
Polri, Laporan Polisi Nomor: TBL/128/II/2016/Bareskrim Polri dan Laporan Polisi
Nomor: LP/392/IV/2016/ Bareskrim Polri," urai Hoky.
Sebagai anggota PPWI,
Hoky, juga langsung mengadukan masalah yang dihadapinya kepada Ketua Umumnya,
Wilson Lalengke S. Pd M. Sc, MA, kemarin Jumat (30/11/2018). Hoky melihat bahwa
kasus ini adalah upaya kriminalisasi jilid kedua, dia kemudian meminta saran
dan dukungan PPWI dalam menyikapi kasus tersebut.
Menanggapi aduan dari
anggotanya, Ketua Umum PPWI Wilson Lalengke S. Pd M. Sc, MA mengaku akan
memberikan dukungan penuh atas upaya anggotanya, dalam memperoleh perlakuan
hukum yang adil. Wilsonpun menilai langkah Hoky sudah tepat.
“Apa yang dilakukan Hoky
telah tepat, sebab Praperadilan merupakan salah satu mekanisme kontrol terhadap
kemungkinan tindakan sewenang-wenang penyidik atau oknum aparat dalam melakukan
tindakan hukum," kata Wilson.
Dikatakan oelh Wilson, bahwa
polisi bisa saja salah dalam melakukan tindakan upaya paksa, penetapan
tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan
yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan, yang pada
dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia.
Dirinyapun mencurigai
adanya dugaan persekongkolan jahat antara pelapor dan oknum polisi di Bantul
dalam kasus ini.
"Patut
dipertanyakan itu oknum petugas Polres Bantul yang menerima laporan pengaduan dari
pelapor Faaz, karena diduga tanpa melampirkan surat keterangan Visum et
Repertum dari pihak kedokteran, namun anehnya laporan tetap diproses oleh
petugas sebagai laporan perkara dugaan tindak pidana penganiayaan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 351 KUHP. Patut dipertanyakan pula tentang kehadiran Faaz
ke PN Bantul pada 10 Mei 2016 tersebut, ada keperluan apa sehingga dia bisa
hadir dari Jakarta sampai jauh-jauh ke PN Bantul?" ujarnya dengan nada
bertanya.
Oleh karena itu, Wilson
yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Sekber Pers Indonesia itu mengajak
seluruh anggota PPWI dan rekan wartawan lainnya untuk mencermati kasus Hoky
ini.
"Mohon kawan-kawan
bantu memonitor, termasuk sidang praperadilan di PN Bantul pada tanggal 10
Desember 2018 mendatang," imbuh alumni Utrecht University, Belanda itu.
Sebagaimana sering
disuarakan oleh Wilson, tokoh pers nasional yang telah melatih ribuan anggota
TNI, Polri, PNS, dan masyarakat umum di bidang jurnalistik itu, ia selalu
menghimbau agar setiap anggota Polri harus melaksanakan tugas dan fungsinya
sebagai pengayom, pelindung, dan penolong semua warga masyarakat dengan
sebaik-baiknya.
"bekerjalah dengan
benar, harus promoter, professional, moderen, dan transparan. Jangan bekerja
berdasarkan pesanan pihak tertentu, jangan bekerja karena suap, sogokan, dan
imbalan berbentuk apapun. Kerusakan sistim penegakkan hukum kita dimulai dari
pintu masuknya proses hukum, yakni di meja polisi. Hentikan menggunakan
pasal-pasal UU untuk kepentingan diri sendiri," tegas Wilson mengakhiri. (001/Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar