SIDOARJO, suarakpk.com - Adanya setoran wajib setiap hari Jum'at
dari Dinas-Dinas ke Bupati sebesar Rp20 juta terungkap dalam sidang perkara kasus Korupsi suap Bupati
Mojokerto Mustofa Kamal Pasha terkait pengurusan Izin IMB dan IPPR
pembangunan 11 Tower milik perusahaan PT Tower Bersama
Infrastructure/Tower Bersama Grup (PT TBG) dan PT Profesional Telekomunikasi
Indonesia (PT Protelindo) pada tahun 2015 lalu sebesar Rp2.750 M.
Pengakuan adanya setoran setiap hari jumat diungkapkan Vivin Kurnia
Ardhiany selaku Kasi (Kepala Seksi) Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal
(BPT-PM) yang dibenarkan Kepala BPT-PM Kabupaten Mojokerto Bambang Wahyuadi,
Lutfi Arif Muttaqin dan Roksa Agung Efendi dihadapan Majelis Hakim Pengadilan
Tipikor Surabaya yang diketuai I Wayan Sosiawan., SH., MH dengan dibantu dua
Hakim Anggota (Ad Hoc) yaitu Dr.Andriano dan John Dista.,SH.
JPU KPK Joko Hermawan dan Ni Nengah Gina Saraswati menghadirkan Vivin
Kurnia Ardhiany, Bambang Wahyuadi, Lutfi Arif Muttaqin dan Roksa Agung Efendi
dihadirkan ke hadapan Majelis Hakim dalam persidangan oleh sebagai saksi untuk
terdakwa Mustofa Kamal Pasha selaku Bupati Mojokerto dalam perkara Korupsi suap
perijinan 11 Tower di Kabupaten Mojokerto pada tahun 2015 lalu.
Dalam persidangan yang berlangsung sejak 26 Juni 2018, selain
Vivin Kurnia Ardhiany, Bambang Wahyuadi, Lutfi Arif Muttaqin dan Roksa Agung
Efendi (Sekretaris Pribadi terdakwa), JPU KPK Joko Hermawan dan Ni Nengah Gina
Saraswati juga menghadirkan 3 (lima) saksi lainnya, diantaranya HM. Sholeh
Abidin (Perantara terdakwa dalam pengurusan izin Tower), Ismawan (ajudan
terdakwa), dan Punggih Adi Wiranata (Supir pribadi Kepala BPT-PM). Sedangkan
Nano Santoso Hudiarti alias Nono selaku orang dekat terdakwa yang terlibat
langsung membantu terdakwa terkait perizinan 11 Tower tak hadir.
Saksi Vivin Kurnia Ardhiany dihadapan
persidangan, mengatakan bahwa di Badan Perizinan ada 4 (emapt) Kepala Seksi
(Kasi) yang masing-masing menyetorkan sebesar Rp20 juta setiap hari Jum'at.
Namun saksi mengatakan, terkadang tidak menyetorkan atau menyetorkan namun
jumlahnya berkurang karena tidak dapat memenuhi.
“Di Perizinan itu ada Empat
Kasi (Kepala Seksi). Setiap kasi setor dua puluh juta, diserahkan ke Agung
biasanya setiap Jum'at. Kadang nggak setor, kadang kurang tapi tetap ditagih,”
kata Vivin Kurnia Ardhiany
Ada hal yang mengejutkan dari
keterangan saksi Vivin adalah, saat dirinya dilantik menjadi Kasi pada Desember
2016 dengan memberikan uang sebesar Rp50 juta. Namun saksi Vivin hanya menjabat
sebagai Kasi tak kurang dari 4 bulan, karena pada April 2017 saksi sudah
dicopot dari jabatannya.
“Saya dilantik pada Desember
2016, saya diminta Rp50 juta. Setelah dilantik, saya berdua bersama teman
menghadap dengan membawa uang sebesar Rp100 juta. Namun saat itu tidak
diperbolehkan masuk dua-duanya sehingga yang masuk adalah teman saya dengan
membawa Rp100 juta,” kata Vivin jujur kepada Majelis Hakim, menjawab pertanyaan
JPU KPK.
Sementara, saksi Lutfi Arif
Muttaqin mengakui kalau dirinya diperintah terdakwa untuk menerimanya. Namun
karena dirinya sedang menemani terdakwa pada saat kegiatan, sehingga Roksa
Agung Efendi diperintah untuk menerima uang setoran mingguan itu. Dan kemudian
uang itu diserahkan ke terdakwa.
“Saya diperintah, karena saya
sedang menemani pada saat kegiatan, saya menyuruh Agung untuk menerimanya,”
kata Lutfi jujur. Apa yang dikatakan Lutfi tak dibantah Agung.
Pengakuan Vivin, Lutfi dan
Agung juga diakui oleh Ismawan yang juga ajudan terdakwa. Menurutnya bahwa yang
setor itu termasuk satpol pp, 2 RSUD dan juga Perizinan. Namun saat JPU
KPK menanyakan darimana uang itu, saksi tak dapat menjelaskannya.
Lebih lanjut, saksi Bambang
Wahyuadi juga mengakui, kalau dirinya diwajibkan untuk memberi setoran wajib
mingguan saat dirinya dilantik sebagai Kepala BPT-PM menggantikan Noerhono. Saat
itu menurut Bambang Wahyuadi, Noerhono menyampaikan bahwa ada setoran ke terdakwa
namun Bambang tidak menanggapinya karena uang sebanyak Rp20 juta perminggu
diambil dari mana.
Bambang Wahyuadi menjelaskan
selain disampaikan Noerhono, juga disampaikan langsung oleh Terdakwa pada saat
dirinya bersama Noerhono menghadap Terdakwa.
"Pak Noerhono mengatakan
ada setoran tapi saya diam saja, Pak Bupati mengatakan Noerhono aja bisa masak
kamu nggak bisa,” kata Bambang Wahyuadi menirukan apa yang disampaikan
terdakwa.
Sementara pada siang sebelum
(15 oktober 2018), Noerhono selaku kepala BPT-PM sebelumnya digantikan Bambang
Wahyuadi mengatakan, bahwa uang yang
terkumpul dari perizinan sebesar Rp850 juta, yang diserahkan ke Suharsono
selaku Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP).
Sedangkan HM. Sholeh Abidin
selaku penghubung atau perantara antara Terdakwa dengan pihak Tower, sepertinya
tak berkata jujur tentang keterlibatannya yang menyampaikan biaya pengurusan
izin Tower.
Dari keterangan semua saksi
yang mengakui terkait pemberian izin 11 Tower ada biayanya sebesar Rp200 juta
per Tower. Terdakwa yang mempercayakan ke mantan Kepala Desa yang juga Tim
Kampanye Terdakwa, yakni Nano Santoso Hudiarti alias Nono. Namun karena Nono
tak hadir dalam persidangan, sehingga tak dapat di kronfrontir langsung antara
Nano, Bambang dan Lutfi.
Karena ketidak hadiran orang
kepercayaan Terdakwa, Ketua Majelis Hakim pun memerintahkan saksi Bambang
Wahyuadi dan Lutfi untuk hadir dalam persidangan berikutnya tanpa surat
Panggilan.
“ini perintah, supaya saudara
Bambang dan lutfi hadir dalam persidangan Minggu depan tanpa surat Panggilan.
ini Perintah.” tegas Ketua Majelis Hakim.
Ketidak hadiran saksi Nano
diduga ada kesengajaan tidak menghadiri panggilan JPU KPK, karena tidak ada
pemberitahuan kenapa saksi tidak hadir.
Sementara menurut JPU KPK
seusai persidangan mengatakan, akan memanggil nano untuk kedua kalinya. Dan
apabila saksi tidak hadir, tidak menutup kemungkinan akan dipanggil Paksa.
"Kita akan panggil lagi
karena Nano ini sangat penting untuk didengar keterangannya. Kuncinya ada dalam
ketiga Saksi ini, yaitu Bambang, Lutfi, Nano, kalau tidak datang, ya dijemput
Paksa," kata JPU KPK Joko. (Topknd/red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar