JAKARTA, suarakpk.com - Publik mengkritik keras DPR setelah disahkannya revisi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UUMD3) pada Senin (12/2/2018) kemarin. Pengamat politik Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti menilai, kemarahan yang ditunjukkan publik cukup beralasan.
"Karena sebenarnya dua pasal yang ditetapkan ini bukan saja bertentangan dengan prinsip demokrasi yang kita anut," ujar Ray, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (13/2/2018).
"Bahkan, pada tingkat tertentu juga menghidupkan sesuatu yang di batalkan normanya oleh Mahkamah Konstitusi," lanjut Ray.
Pasal yang dimaksud Ray adalah Pasal 122 huruf k yang menyatakan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Ia menilai, norma Pasal 122 huruf k terkait dengan pemidanaan penghinaan pejabat negara. Menurut Ray, norma yang sama sudah dibatalkan MK dalam konteks penghinaan terhadap presiden.
Saat itu kata Ray, MK membatalkan pasal terkait penghinaan Presiden lantaran menganggap hal itu bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Selain itu, Pasal 245 yang mengatur bahwa pemeriksaan anggota DPR harus dipertimbangkan MKD terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin bagi aparat penegak hukum.
Norma pasal itu juga telah dibatalkan oleh MK pada 2015. Kini, DPR justru menghidupkan kembali pasal tersebut pada UU MD3.
Melalui putusannya, MK mempertimbangkan prinsip kesamaan di depan hukum sehingga pemeriksaan anggota DPR oleh penegak hukum tidak perlu izin MKD.
Selain dua pasal itu, Ray juga menilai UU MD3 telah mengubah fungsi MKD. Alasannya, MKD diberikan kewenangan untuk mengambil langkah hukum terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Padahal, sejak awal dibentuk, MKD bertugas mengawasi perilaku anggota dewan sehingga martabat DPR sebagai lembaga bisa terjaga.
"Sekarang MKD tidak lagi dimaksudkan dalam kerangka menjaga etika dewanya tetapi berkembang menjaga anggota DPR jangan sampai dihinakan oleh publik," kata Ray.
Ketua
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Sufmi Dasco Ahmad mengatakan pasal imunitas
anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang tertulis dalam Pasal 245 Undang-Undang
tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) tidak berlaku untuk tindak pidana khusus.
Ia juga mengatakan pasal itu tak berlaku bagi tindak pidana yang dilakukan di
luar tugas dan wewenang sebagai anggota Dewan.
"Tindak
pidana yang tidak berhubungan dengan tugas, atau tindak pidana khusus, dan
tertangkap tangan itu dikecualikan," kata Dasco di Kompleks Parlemen,
Senayan, Jakarta, Selasa 13 Februari 2018.
Dasco
menyebutkan Pasal 245 berfokus pada tindak pidana umum yang dilakukan oleh
anggota Dewan. Ia menilai kegiatan anggota Dewan rentan untuk diminimalisasi.
"Beberapa kita dapatkan anggota DPR tiba-tiba dipanggil polres padahal
permasalahan kasusnya belum jelas," ujar dia.
Wakil Ketua
MKD, Sarifuddin Sudding, menegaskan Pasal 245 mengatur imunitas anggota Dewan
yang melakukan tindak pidana di luar tugas dan wewenang DPR. Namun, kata dia,
pasal tersebut tidak berlaku jika anggota DPR terjerat suatu tindak pidana
khusus. "Seperti yang ditangani KPK, misalnya, itu tidak perlu mendapat
izin presiden dan pertimbangan MKD," ujar dia.
Selain itu,
Sudding menjelaskan imunitas tidak berlaku jika anggota DPR tertangkap tangan
melakukan tindak pidana, dan disangka melakukan kejahatan dengan ancaman
hukuman mati atau seumur hidup. "Banyak kasus anggota yang dilaporkan oleh
masyarakat yang sebnarnya ketika kita konfirmasi, tidak ada dasar hukum yang
kuat," ujarnya.
Senada, Ketua
Badan Legislasi Supratman Andi Agtas mengatakan tak ada yang perlu
dikhawatirkan dari pasal imunitas DPR di UU MD3. Karena, menurutnya, tidak ada
kewajiban dari presiden untuk tidak mengeluarkan izin, apakah ada pertimbangan
MKD atau tidak.
Terpisah, Ketua
DPR RI Bambang Soesatyo mengatakan mekanisme pengesahan Rancangan Undang-Undang
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) menjadi Undang-Undang MD3 sudah sesuai
dengan tata tertib dan ketentuan yang berlaku.
"Mekanisme
pengesahan UU MD3 di DPR sudah sesuai dengan tata tertib dan ketentuan yang
berlaku, sebelum disahkan di Rapat Paripurna DPR juga sudah melalui proses
pembahasan bersama dengan Pemerintah," kata Bambang di Kompleks Parlemen,
Jakarta, Selasa, 13 Februari 2018.
Menurut dia
apabila ada pihak-pihak yang tidak puas dengan keputusan tersebut, dapat
mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga Negara yang berhak
menentukan suatu UU bertentangan atau tidak dengan konstitusi.
Selain itu dia menjelaskan bahwa Pasal 245 dalam UU MD3 terkait pemeriksaan
anggota DPR yang terlibat tindak pidana, ketentuan tersebut sudah sesuai dengan
putusan MK sebab hanya penambahan frasa mempertimbangkan, bukan mengizinkan."Lalu mengenai Pasal 122 tentang penghinaan terhadap parlemen, hal tersebut adalah wajar mengingat di beberapa negara ada pasal sejenis yaitu untuk menjaga kewibawaan Lembaga Negara seperti di peradilan atau 'contempt of court' dan di DPR RI atau 'contempt of parliament'," ujarnya.
Bambang menjelaskan Pasal 73 mengenai pemanggilan paksa, hal tersebut sudah sesuai dengan ketentuan teknik perundang-undangan, jika dalam ketentuan pasal yang terkait ada kata-kata "wajib", maka konsekuensinya adalah harus ada sanksi agar pasal tersebut dipatuhi.
Menurut dia, mengenai kata penyanderaan tersebut, sebagai konsekuensi dari ketidakpatuhan terhadap kewajiban pemenuhan pemanggilan.
Dia juga menegaskan bahwa bahwa setiap profesi harus mendapatkan perlindungan hukum, termasuk anggota Dewan.
"Perlindungan ini juga telah dimiliki oleh wartawan sebagaimana diatur dalam UU Pers No. 40 tahun 1999 tentang Pers, yaitu dalam menjalankan tugasnya tidak dapat dipanggil oleh polisi, tetapi dapat dipanggil oleh Dewan Pers," katanya.
Bambang menilai, hak imunitas juga telah dimiliki oleh advokat dalam menjalankan tugasnya sebagaimana diatur dalam UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat.
Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR RI menyetujui perubahan ke-2 Rancangan Undang-Undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menjadi Undang-Undang, namun diwarnai dengan aksi "walk out" dari Fraksi Partai NasDem dan Fraksi PPP.
"Apakah perubahan kedua tentang UU nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dapat disetujui menjadi Undang-Undang," kata Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam Rapat Paripurna DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin.
Setelah itu seluruh anggota DPR yang hadir menyatakan setuju lalu dilakukan ketuk palu sebagai tanda disetujuinnya perubahan kedua UU MD3 tersebut.
Di sisi lain, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly membuka ruang bagi pihak-pihak yang tak menyetujui pengesahan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi. Pernyataan Yassona itu menyikapi Dewan Perwakilan Rakyat yang telah mengesahkan Rancangan Udang-Undang MD3 menjadi undang-undang, Senin, 12 Februari 2018.
"Kalau enggak setuju, boleh saja. Kalau merasa itu melanggar hak, ada MK. Enggak apa-apa biar berjalan saja," kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Yasonna menganggap perbedaan pendapat dalam pembahasan RUU MD3 tersebut wajar-wajar saja. "Itu tergantung perspektif masing-masing, sah-sah saja. Bukan sekali ini Undang-Undang berbeda pendapat. Nanti ada gilirannya, ada yang menguji silakan saja," ujarnya. (tim/red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar