YOGYAKARTA,
suarakpk.com – Atas dikabulkannya gugatan judicial review pasal 18 ayat 1 huruf
m UU KDIY pada hari kamis (31/82017) yang lalu oleh Mahkamah Konstitusi (MK) menjadikan
kisruh di dalam istana Kraton Kasultanan DIY. Pasalnya dengan dikabulkannya
gugatan tersebut, baik laki-laki maupun perempuan bisa menjadi Gubernur DI
Yogyakarta dengan tahta Sultan Hamengku Buwono.
Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY berbunyi:
Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY berbunyi:
Calon Gubernur
dan calon Wakil Gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus
memenuhi syarat menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain
riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.
Menurut hakim, frasa tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab syarat untuk menjadi cagub dan cawagub bersifat kumulatif, artinya semua persyaratan dalam pasal 18 tersebut harus dipenuhi.
"Oleh karena itu, menurut penalaran yang wajar, potensi terjadinya ketidakpastian hukum yang disebabkan oleh adanya keragu-raguan tersebut sangatlah besar. Ketidakpastian hukum demikian bahkan dapat berkembang menjadi krisis politik yang berbahaya karena terjadi kebuntuan dalam pengisian jabatan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur DIY," ujarnya.
Hingga hari ini, dikabarkan para rayi dalem atau putra Sultan Hamengku Buwono IX, telah menyatakan sikap menentang Sabda Raja dan Dawuh Raja yang dikeluarkan Sultan Hamengku Bawono X beberapa waktu lalu.
Menurut hakim, frasa tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab syarat untuk menjadi cagub dan cawagub bersifat kumulatif, artinya semua persyaratan dalam pasal 18 tersebut harus dipenuhi.
"Oleh karena itu, menurut penalaran yang wajar, potensi terjadinya ketidakpastian hukum yang disebabkan oleh adanya keragu-raguan tersebut sangatlah besar. Ketidakpastian hukum demikian bahkan dapat berkembang menjadi krisis politik yang berbahaya karena terjadi kebuntuan dalam pengisian jabatan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur DIY," ujarnya.
Hingga hari ini, dikabarkan para rayi dalem atau putra Sultan Hamengku Buwono IX, telah menyatakan sikap menentang Sabda Raja dan Dawuh Raja yang dikeluarkan Sultan Hamengku Bawono X beberapa waktu lalu.
GBPH Yudhaningrat
saat ditemui di Ndalem Yudanegaran, mengatakan, ungkapan mengenai sikap
tersebut sudah disepakati bersama. Hasilnya diserahkan kepada KGPH Hadiwinoto
selaku saudara tertua untuk disampaikan pada Sultan HB X.
GBPH Yudhaningrat
mengatakan, meskipun isi sikap para rayi dalem tersebut adalah materi untuk
kalangan internal keluarga, namun, ada sedikit hal yang dirasa perlu diketahui
publik.
“Bahwa apa yang
diucapkan HB X ini adalah hal-hal yang cacat hukum sekaligus batal demi hukum.
Alasannya tidak sesuai paugeran pokok yang ada. Ibaratnya kalau kereta api, itu
sudah keluar dari rel,” kata GBPH Yudhaningrat
Sebelas pangeran
tersebut berasal dari tiga ibu, dari KRAy Ciptamurti antara lain GBPH
Pakuningrat, GBPH Cakraningrat, GBPH Suryodiningrat, GBPH Suryomataram, GBPH
Hadinegoro, GBPH Suryonegoro. Dari KRAy Hastungkara antara lain, GBPH
Condrodiningrat, GBPH Yudhaningrat, GBPH Prabukusumo. Sedangkan dari KRAy
Pintoku Purnomo yaitu GBPH Hadisuryo, dan dari Ibu KRAy Windyaningrum adalah
KGPH Hadiwinoto (saudara kandung HB X).
GBPH Yudhaningrat
mengaku tidak khawatir dengan adanya ancaman risiko buruk akibat menentang dan
tidak melaksanakan Sabda Raja. Menurut dia, meskipun nantinya ada risiko,
kadarnya tidak terlalu besar.
“Saya kira
resikonya tidak berat kalau tak dilaksanakan. Karena itu jelas keluar dari
paugeran pokok, adat, dan Mataram Islam,” kata dia.
Ia juga
menegaskan, pengangkatan GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi yang adalah putri
mahkota yang selanjutnya naik tahta menjadi Sultan, dikhawatirkan akan memutus
silsilah Hamengku Buwono. Karena silsilah ini sudah terjaga sejak ratusan tahun
lalu.
Jika ada perubahan
gelar dan perubahan silsilah dari keturunan bukan laki-laki, maka silsilah
tersebut akan terputus dan hilang.
“Ini bahaya bagi
silsilahnya. Silsilahnya akan menurunkan putra-putra GKR Mangkubumi, silsilah
Hamengku Buwono akan hilang. Sebab kita ini kan patriarki bukan matriarki,”
kata dia.
GBPH Yudhaningrat
juga menegaskan, langkah para rayi dalem ini memiliki tujuan mengingatkan pada
Sultan HB X untuk kembali menghayati amanat leluhur yang ada selama ini.
“Langkah kita akan
menyadarkan ngarso dalem (Sultan HB X), supaya beliau sadar bahwa langkahnya
salah. Tapi malah kita yang disuruh sadar, jadi dibolak-balik,” ucapnya saat
ditemui di kediamannya kemarin Jumat (5/1/2018)
Pria
yang akrab disapa Gusti Yudho ini tegas menolak keputusan MK jika menghalalkan
seorang putri menjadi Raja Yogya. Menurut tafsir Gusti Yudho, putusan MK bisa
jadi hanya masuk dalam wilayah syarat gubernur dan wagub Yogya, bukan pada
ranah penetapan Raja Yogya. Sebab, kata dia, khusus untuk penetapan Raja Yogya,
Undang-Undang Kekhususan DIY dari mulai pasal 1 sampai akhir jelas-jelas
menitahkan, mewajibkan bahwa yang jumeneng (bertahta) itu adalah laki-laki.
Berikut penjelasannya.
“Pasal
18 ayat 1 huruf m Undang-Undang 13/2012 Tentang Keistimewaan DIY memberikan
batasan bahwa yang berhak menjadi Gubernur DIY hanyalah laki-laki, itu kan
hanya menjadi salah satu syarat saja dan tidak mengikat oleh hukum. Tapi
masalah raja keraton ini tidak bisa serta merta perempuan bisa naik tahta
begitu. Karena kita ini kan kekhalifahan. Kemudian di Undang-Undang
Keistimewaan juga nggak bisa, karena ada syarat lainnya.” terangnya.
Lebih lanjut, gusti Yudhoningrat mengunkapkan, ada aturan kalau gubernur tidak bisa serta merta dijabat oleh sultan, ketika sultan tidak memenuhi syarat jadi gubernur.
Lebih lanjut, gusti Yudhoningrat mengunkapkan, ada aturan kalau gubernur tidak bisa serta merta dijabat oleh sultan, ketika sultan tidak memenuhi syarat jadi gubernur.
“Jadi
dalam hal ini akan dijabat oleh wakil gubernur, Sri Paku Alam. Kalau dua-duanya
tidak bisa, maka nanti akan ada pejabat yang ditunjuk oleh pusat untuk menjadi
gubernur DIY sambil menunggu Sultan dan Sri Paku Alam yang memenuhi syarat
untuk menjadi gubernur dan wagub. Jadi jangan berpikir bahwa sultan Yogyakarta
itu otomatis bisa jadi gubernur.” ungkapnya.
Menurtnya,
putusan MK ini menjadi bahan pembicaraan
polemik di lingkungan keraton Yogya?
“Iya tentu kita bicarakan dan sudah bicarakan dengan ahli hukum ini maunya bagaimana, ya sampai di situ saja, baru syaratnya saja. Tidak mulai mengarah ke keraton, karena keraton sudah ada kodratnya sendiri.” tutur adik lain ibu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Hamengkubuwana X
Ketika ditanya terkait adanya pihak yang merasa keberatan dengan adanya keputusan dari MK tersebut, Gusti Yudho menjelaskan, jika dirinya tidak mempermasalahkan.
“Iya tentu kita bicarakan dan sudah bicarakan dengan ahli hukum ini maunya bagaimana, ya sampai di situ saja, baru syaratnya saja. Tidak mulai mengarah ke keraton, karena keraton sudah ada kodratnya sendiri.” tutur adik lain ibu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Hamengkubuwana X
Ketika ditanya terkait adanya pihak yang merasa keberatan dengan adanya keputusan dari MK tersebut, Gusti Yudho menjelaskan, jika dirinya tidak mempermasalahkan.
“ya,
karena kan sudah jelas-jelas aturannya di dalam Undang-Undang Keistimewaan.
Jadi kalau sultannya perempuan, maka semuanya batal demi hukum. Kalau rakyat
Yogya yang sudah sepuh itu pasti tahu masalah ini, namun mereka hanya tertawa
di dalam hati saja, kalau tertawa di depan Sultan pada enggak berani.” jelasnya.
Memang ibunya kanjeng ratu waktu itu pernah berucap ingin seperti Putri Elizabeth (Ratu Inggris), lalu hal itu dibantah oleh sepupunya sultan, 'ini kan kesultanan, kekhalifahan masa dipimpin oleh perempuan'. Terus dia mengatakan 'ah bisaan saja'.
“Teruslah dia ngeyel, 'nanti yang ngomong kan sultan, nggak ada yang berani'. Tapi ternyata banyak yang tidak mendukung, bahkan sudah mengirim surat ke lembaga-lembaga pemerintah, bahkan sampai ke Presiden.” ungkap gusti Yudho.
Sekarang DIY ini memang tidak bisa membedakan mana kemauan pribadi dan mana kemauan kesultanan. Dan ini terus menjadi polemik yang membuat panas orang-orang Yogya. Nanti ini tangan Tuhan lho yang berjalan. Kan kita sudah beri tahu bahwa, kalau rajanya dipimpin oleh putri itu nasabnya hilang, habis. Setelah HB X terus hilang. Perjuangan mendirikan dan menjaga keraton hilang. Selanjutnya yang tidak ada hubungannya dengan keraton, nantinya malah akan mendapatkannya (menjadi pemimpin keraton Yogya).
“Tentu kami menolak, karena itu merusak keraton dan enggak ada programnya. Kebudayaannya nanti akan lain-lain. Masalah struktural, ini juga soal agama, kebetulan ini kan yang meminta juga ada dari pihak-pihak beda agama, jadi melegalkan. Kalau pun tidak beda agama kan memang nggak bisa menaikkan seorang putri menjadi raja. “ tegasnya.
Memang ibunya kanjeng ratu waktu itu pernah berucap ingin seperti Putri Elizabeth (Ratu Inggris), lalu hal itu dibantah oleh sepupunya sultan, 'ini kan kesultanan, kekhalifahan masa dipimpin oleh perempuan'. Terus dia mengatakan 'ah bisaan saja'.
“Teruslah dia ngeyel, 'nanti yang ngomong kan sultan, nggak ada yang berani'. Tapi ternyata banyak yang tidak mendukung, bahkan sudah mengirim surat ke lembaga-lembaga pemerintah, bahkan sampai ke Presiden.” ungkap gusti Yudho.
Sekarang DIY ini memang tidak bisa membedakan mana kemauan pribadi dan mana kemauan kesultanan. Dan ini terus menjadi polemik yang membuat panas orang-orang Yogya. Nanti ini tangan Tuhan lho yang berjalan. Kan kita sudah beri tahu bahwa, kalau rajanya dipimpin oleh putri itu nasabnya hilang, habis. Setelah HB X terus hilang. Perjuangan mendirikan dan menjaga keraton hilang. Selanjutnya yang tidak ada hubungannya dengan keraton, nantinya malah akan mendapatkannya (menjadi pemimpin keraton Yogya).
“Tentu kami menolak, karena itu merusak keraton dan enggak ada programnya. Kebudayaannya nanti akan lain-lain. Masalah struktural, ini juga soal agama, kebetulan ini kan yang meminta juga ada dari pihak-pihak beda agama, jadi melegalkan. Kalau pun tidak beda agama kan memang nggak bisa menaikkan seorang putri menjadi raja. “ tegasnya.
Menurutnya,
keputusan MK tersebut hubungannya dengan jabatan Gubernur. Dan yang digugat
adalah syarat sebagai Gubernur pasal 18 ayat 1 huruf m. Di mana ada penjelasan
bahwa orang yang lahir di DIY baik laki-laki atau perempuan tidak bisa menjadi
Gubernur seusai UUK DIY apabila tidak bisa menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono
yang bergelar Senopati Ing-Ngalogo Ngabdurahman Sayiddin Panotogomo
Khalifatullah.
"Putusan MK ini tidak bisa membuka peluang Sultan perempuan. Karena syarat yang digugat adalah syarat menjadi Gubernur DIY. Jadi tidak serta merta untuk jadi Sultan," tegasnya.
"Putusan MK ini tidak bisa membuka peluang Sultan perempuan. Karena syarat yang digugat adalah syarat menjadi Gubernur DIY. Jadi tidak serta merta untuk jadi Sultan," tegasnya.
Menanggapi
putusan ini, pihaknya berharap warga Yogyakarta tidak emosional karena masalah
bisa dibicarakan. Kepada Sri Sultan, ia meminta untuk membuka diri untuk
berembuk. Ia mengingatkan bahwa keluar dari paugeran itu risikonya besar.
"Berharap masyarakat Yogya tidak emosional menanggapi ini. Ono rembuk dirembuk. Kepada Sri Sultan agar mau membuka diri ada rembuk dirembuk," kata adik Sri Sultan HB X ini.
"Berharap masyarakat Yogya tidak emosional menanggapi ini. Ono rembuk dirembuk. Kepada Sri Sultan agar mau membuka diri ada rembuk dirembuk," kata adik Sri Sultan HB X ini.
Gusti Pangeran Haryo Yudhaningrat atau
Bendara Raden Mas Sulaksamana
merupakan adik lain ibu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
Hamengkubuwana X. Di dalam struktur Karaton
Yogyakarta, GBPH Yudhaningrat menjabat sebagai Penghageng Kawedanan Hageng
Punokawan Puro Budaya sekaligus Manggalayudha (Panglima) Prajurit. Pangeran ini
memiliki hobi berkuda. Ia merupakan salah satu pejabat tinggi di Pemerintah
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.(Tim/001/red/DIY)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar