Yogyakarta, suarakpk.com - Sultan Ground (Tanah Kraton) merupakan tanah yang
belum diberikan haknya kepada penduduk maupun kepada pemerintah desa, masih
merupakan milik kraton sehingga siapapun yang akan menggunakannya harus meminta ijin kepada pihak
Keraton.
Pembagian Sultan Ground
1. Crown Domain
atau Tanah Mahkota
Tanah Mahkota tidak bisa
diwariskan karena merupakan atribut pemerintahan Keraton Ngayogyokarto
Hadiningrat, diantaranya Keraton, Alun-alun, Kepatihan, Pasar Ngasem,
PesanggrahanAmbarukmo, Pesanggrahan Ambarbinangun, Hutan Jati di Gunungkidul,
Masjid Besar dan sebagainya.
2. Sultanaad
Ground (tanah milik Kasultanan) adalah tanah-tanah yang bisa diberikan dan
dibebani hak. Tanah tersebut merupakan wilayah kerajaan Ngayogyokarto
Hadiningrat yang tanahnya bisa dikuasai oleh rakyat.
Dasar Hukum Sultan Ground (SG)
a. Koninlijk
Besluit (yang diundangkan dalam Staatsblad Nomor 474 Tahun 1915);
b. Rijksblad
Kasultanan Nomor 16 Tahun 1918 dan Rijksblad Kasultanan Nomor 18 Tahun 1918;
c. Rijksblad
Kasultanan Nomor 11 Tahun 1928 dan Rijksblad Kasultanan Nomor 2 Tahun 1931;
d. Rijksblad
Kasultanan Nomor 23 Tahun 1925.
Tanah D.I. Yogyakarta Sekarang
Semula, Yogyakarta adalah daerah swapraja. Diktum UUPA huruf a mengatakan,
hak dan wewenang dari swapraja atau bekas tanah swapraja yang masih ada pada
waktu berlakunya undang-undang ini hapus dan beralih kepada negara. Hal-hal
yang bersangkutan dengan huruf a diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah. Tapi sampai sekarang, peraturan pemerintah itu belum dibuat. Karena
itulah UUPA di Yogyakarta belum dilaksanakan sepenuhnya. Yang diberlakukan
hanya sebatas tanah hak yang diatur berdasarkan hukum Barat.
Hukum Tanah Swapraja adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang
khusus berlaku di daerah swapraja, seperti Kesultanan Yogyakarta. Dalam
konsiderans Staatsblad No. 474 tahun 1915 ditegaskan bahwa diatas tanah-tanah
yang terletak dalam wilayah hukum swapraja, dapat didirikan hak kebendaan yang
diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW), seperti hak eigendom, erfpacht, opstal,
dan sebagainya. Di Yogyakarta, Sultan merupakan pemilik tanah yang merupakan
tanah Keraton. Rakyat hanya punya hak sewa atau hak pakai dan biasa disebut
magersari. Jika Sultan menghendaki, sewaktu-waktu ia dapat mencabutnya kembali.
Menurut sejarahnya, hukum tanah diatur bersama-sama, baik dengan tanah kas
desa, tanah penduduk, maupun tanah Keraton itu sendiri.
Namun sebagaimana diketahui umum
bahwa Dualisme penerapan hukum tanah di DIY telah berlangsung sejak
diterbitkannya UUPA yang mengatur secara detail mengenai ketentuan hukum
agraria secara nasional. Bagi Yogyakarta, UU tersebut awalnya harus
dikecualikan dan penerapannya baru diakui pada 2 Februari 1984 dimana Sri Sultan
Hamengkubuwono IX secara resmi menyatakan UUPA juga berlaku di Yogyakarta.
Untuk memperoleh izin dalam hal menyewa atau memakai tanah keraton
(magersari), terlebih dahulu harus meminta izin kepada Paniti Kismo. Paniti
Kismo merupakan lembaga adat yang mengurusi pertanahan keraton yang meliputi
pengaturan dan perizinan. Tanda bukti izin tersebut adalah dikeluarkannya Surat
Kekancingan Magersari yang di dalamnya memuat klausul bahwa pemegang Magersari
dilarang mendirikan bangunan permanen, tanah magersari tidak bisa diperjual
belikan, dan bersedia mengembalikan tanah bila sewaktu-waktu diminta. Namun,
perizinan dan syarat administrasi tetap tunduk pada aturan pemerintah setempat
dalam hal ini Pemerintah Kabupaten, walaupun untuk magersari tidak dimungkinkan
mendapatkan sertifikat atas tanah tersebut. Untuk tanah keraton yang telah
bersertifikat hak milik, tentu saja menurut Hukum Agraria yang berlaku,
permohonan hak atas tanah tersebut tunduk pada ketentuan UUPA serta ketentuan
lain yang meliputi ketentuan administratif. Hal ini menandakan Hukum yang
berlaku mengenai tanah di DIY masih bersifat dualisme.
Di samping itu, terdapat tanah-tanah yang telah bersertifikat dan dimiliki
oleh perseorangan. Tanah tersebut merupakan tanah yang pada kenyataannya tidak
dapat diganggu gugat oleh pihak keraton karena telah ada atas hak yang sah. Jika pihak lain ingin menguasai tanah tersebut, tidak
perlu izin penggunaan lahan seperti megarsari kepada Paniti Kismo. Namun jika
ingin mendirikan bangunan, harus memenuhi persyaratan untuk mendapatkan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) dan harus ada persetujuan dari Penghageng Wahono
Sarto Kriyo untuk kawasan Kraton maupun tanah milik Kraton.
Pakar Hukum Agraria dari Universitas
17 Agustus 1945 Surabaya, Sri Setiadji mengatakan, keistimewaan Yogyakarta
termasuk yang terkait dengan status, hak, dan kewenangan Sultan atas tanah
Kasultanan (Sultan Ground) dan tanah Kadipaten (Pakualaman Ground) jelas diatur
dalam Undang-undang No. 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Menurutnya, tidak ada satu pasal pun terkait hal itu yang antinomi
atau kontra norma dengan peraturan undang-undang lainnya.
“Artinya, itu kewenangan yang
diberikan oleh Undang-Undang,” kata Sri Setiadji dalam diskusi “Eksistensi dan
Kedudukan Tanah Kesultanan dan Tanah Kadipaten Pasca Pemberlakuan UU No. 13
Tahun 2013 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta” di kawasan Menteng,
Jakarta Pusat.
Selain itu, jika dilihat dalam asas
dalam Undang-Undang Pertanahan dalam hal ini UUPA 1960, juga disebut bahwa
Tanah Pakualam dan Tanah Kesultanan, itu bukan bagian dari tanah swatantra.
“Kalau negara memberikan sebagian
kepada daerah swatantra, di situ ada persoalan, tapi di sini Yogyakata tidak
termasuk dalam daerah swatantra, sehingga hak yang dimiliki itu ada sebelum
proklamasi,” paparnya.
Sementara itu, pakar hukum agrarian
dari Universitas Gajah Mada (UGM), Suyitno, mengemukakan Tanah Kesultanan
sampai saat ini justru banyak yang digunakan untuk kepentingan dan
kesejahteraan masyarakat.
Dia juga mengatakan sampai saat ini
luas tanah yang dimiliki kesultanan masih belum diketahui dengan pasti,
mengingat tanah tersebut banyak digunakan oleh masyarakat untuk kehidupan.
“Sekarang kan yang dibicarakan itu
soal sejarah dan faktanya seperti apa. Sultan itu kan maksudnya menata untuk rakyat
dan mewujudkan apa yang menjadi kesejahteraan masyarakat,” katanya.
Seperti diketahui, Negara Indonesia
adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik sebagaimana tercantum dalam
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945. Meskipun berbentuk Negara Kesatuan, konstitusi juga
mengakui keberadaan Pemerintah Daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur dengan undang-undang (Pasal 18B ayat (1) UUD 1945).
Demikian juga, Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang
(Pasal 18B ayat (2) UUD 1945).
Salah satu Provinsi yang diberikan
Hak Keistimewaan adalah Yogyakarta. Keistimewaan tersebut tidak serta merta
diperoleh tanpa alasan konstitusional dan historis. Sebelum Republik Indonesia
berdiri, sudah memiliki pemerintahannya sendiri sebagaimana disebut dalam pasal
18 UU 1945 (Sebelum Perubahan) sebagai “Susunan Asli”.
Selanjutnya kedudukan tersebut
diperkuat dengan pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tanggal 5
September 1945 bahwa Negeri Yogyakarta bersifat Kerajaan dan merupakan bagian
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan UU No. 3 tahun 1950 junto
UU No.19 tahun 1950.
Yogyakarta kemudian ditetapkan
sebagai Daerah Istimewa (DIY) yang setara dengan daerah tingkat I (provinsi).
Berdasarkan pasal 4 ayat (1) UU No. 3 tahun 1950, DIY mendapat kewenangan untuk
mengurus beberapa hal dalam rumah tangganya sendiri, salah satu diantaranya
bidang keagrariaan atau pertanahan.
Menurutnya, pasal 1 (alinea ke-7
hingga ke-8) dalam Perjanjian Giyanti menyebutkan, Sultan Hamengku Buwono I,
raja pertama Kasultanan Yogyakarta, diangkat oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), sebuah kongsi dagang
Hindia Belanda. Pembagian wilayah itu merupakan usaha VOC menyelesaikan konflik
internal di Mataram. Sultan diangkat menjadi raja Kasultanan dan dipinjami
tanah untuk wilayahnya.
Dia mengatakan “pinjaman tanah” sebagai
wilayah kasultanan karena sebelumnya, pada 1749, Raja Mataram Paku Buwono II
telah menyerahkan kekuasaan dan wilayahnya kepada VOC. “Sehingga Perjanjian
Giyanti adalah ikutan dari perjanjian sebelumnya,” kata Kus.
Pada 1940, Sultan Hamengku Buwono IX
pernah mengadakan perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian itu disebutkan
Kasultanan Yogyakarta adalah bagian dari Kerajaan Belanda. “Negara merdeka mana
yang diargumentasikan?”
Pertanyaan tentang negara merdeka itu
merujuk pada Sabdatama Sultan HB X pada 10 Mei 2012. Pada paragraf ketiganya
tertulis “Mataram iku negri kan merdika lan nduweni paugeran lan tata
kaprajan dewe”. Maksudnya, Kerajaan Mataram adalah negara merdeka yang
punya aturan (paugeran) dan tata pemerintahan sendiri.
Senada, Menteri Agraria Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Ferry Mursyidan Baldan menegaskan,
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 tidak sepenuhnya berlaku di DIY.
Sebab daerah ini telah memiliki
payung hukum sendiri berupa Undang-undang Keistimewaan (UUK).
"Kalau di DIY punya payung
hukum, Keistimewaan," katanya, di Yogyakarta belum berapa lama ini.
Menurutnya, jika terdapat aturan
mengenai pertanahan ternyata masih belum diatur di UUK DIY, maka dapat mengacu
pada UUPA.
Regulasi antara UUK dengan UUPA
berbeda pemberlakuannya. UUK merupakan lex
spesialis, sedangkan UUPA lex
generalis yang berlaku secara umum kecuali di daerah yang memiliki
kekhususan seperti DIY.
"Itulah kekhususan utamanya,
sama seperti Provinsi Papua atau Aceh," ujarnya.
"Jangan kita pertentangkan
dengan konflik regulasinya (antara UUK dengan UUPA). Tapi bagaimana pemberian
Keistimewaan," sambungnya.
Ia juga menegaskan bahwa sesuai
ketentuan yang terdapat dalam UUK DIY, keberadaan tanah milik Keraton
Yogyakarta dan Kadipaten Puro Pakualaman masih ada, dan Negara mengakuinya.
"Sultan Ground dan Pakualaman
Ground itu masih ada," tandasnya.
Sementara itu, DPRD DIY hingga kini
belum bersedia membahas Raperda Istimewa (Raperdais) tentang Pertanahan.
Sementara sebelumnya, Sultan
Hamengku Buwono X menegaskan bahwa di DIY tidak ada tanah milik Negara Republik
Indonesia.
“Tidak ada tanah negara di DIY!”,
tegas Gubernur DIY pada 15 September 2015 lalu, memperjelas rute kebijakan
agraria DIY ke depan, yang ditegaskan lagi oleh KRT. Nitinegoro (21 Juni 2016),
“bahwa ke depan dimungkinkan di DIY hanya ada HGB bagi masyarakat!”
“Apa saya tidak boleh punya tanah
pribadi?” jawab Sultan Hamengku Buwono X ketika ditanya mengenai kedudukan Sultan
Grond yang menjadi obyek Perjanjian
Kerjasama itu.
Di jelaskan dalam UU Keistimewaan
DIY memang mengatur Tanah Kasultanan, disebut Sultanaat Grond yang
maknanya tanah institusi, bukan Sultan Grond yang maknanya tanah
pribadi. Di DIY kedua istilah itu rancu dan sering tertukar, meskipun bagi
masyarakat dampaknya sama: hapusnya hak-hak atas tanah yang dijamin UUPA,
termasuk pembatasan penguasaan dan pemilikan tanah melebihi batas maksimum (7
ha).
Sebagaimana di kabarkan, bahwa pada
16 Juni 2016 lalu, BPN Kanwil DIY telah menyerahkan sertifikat tanah SG kepada
Kasultanan (500 bidang tanah) dan sertifikat PAG kepada Kadipaten (150 bidang
tanah), meskipun tanpa dasar hukum apapun. Baik KRT. Nitinegoro maupun Tommy
Harahap, SH (21 Juni 2016) mengaku tidak mengetahui luas dan lokasi 500 bidang
tanah SG tersebut, meskipun untuk wilayah Gunungkidul. Adapun tanah yang
dikategorikan PAG paling luas berada di pesisir Kabupaten Kulon Progo, yang
dijadikan lokasi proyek NYIA dan Pertambangan Pasir Besi PT. Jogja Magasa Iron
(milik keluarga Kadipaten dan Kasultanan). Jika pada waktu lalu penerbitan kekancingan
belum memiliki dasar, maka sertifikat SG dan PAG tersebut saat ini dijadikan
dasar “resmi” bagi penerbitan kekancingan.
Namun, “keresmian” sertifikat SG dan
PAG dipertanyakan oleh beberapa ahli, mengingat UUPA berlaku sepenuhnya di DIY
dan aturan pelaksanaan UU Keistimewaan DIY belum ada.
Terkait dasar hukum penerbitan
sertifikat tanah SG tersebut, KRT. Nitinegoro (21 Juni 2016) menyatakan tidak
masalah karena merupakan amanat langsung dari UUPA, yaitu tanah hak milik harus
disertifikatkan. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Dianto Bachriadi,
Komisioner KOMNAS HAM, bahwa Perdais Pertanahan merupakan dasar hukum
pelaksanaan inventarisasi, identifikasi, dan sertifikasi tanah-tanah yang masuk
kategori sebagai SG, yang terbatas pada fungsi kebudayaan atau tanah keprabon.
Masalahnya, Perdais Pertanahan hingga saat ini belum dibahas oleh DPRD DIY.
Sedangkan Dr. Ni’matul Huda, seorang
pakar Tata Negara Universitas Islam Indonesia, juga berpendapat bahwa
Kasultanan dan Kadipaten bukanlah badan hukum yang dapat memiliki hak milik
tanah sebagaimana ditunjuk oleh PP No. 38 Tahun 1963. Ketentuan UU Keistimewaan
DIY yang menempatkan Kasultanan dan Kadipaten sebagai “badan hukum khusus”
masih menjadi perdebatan, apakah termasuk badan hukum publik (tidak dapat
dilekati hak milik, kecuali bank pemerintah) atau swasta (dapat dilekati hak
milik). Pendapat itu dikuatkan Kus Antoro, peneliti agraria FKMA, bahwa
sertifikat tanah SG dan PAG itu justru menjadi bukti otentik pelanggaran hukum
oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proses penerbitannya.
Sebagaimana diketahui bahwa Kasultanan
Yogyakarta membagi tanah menjadi dua jenis: keprabon dan bukan keprabon. Tanah
keprabon adalah areal yang ditempati bangunan keraton dan upacara adat seperti
alun-alun, masjid Gedhe Kauman, pasar Beringharjo, panggung Krapyak, hingga
labuhan di gunung Merapi dan pantai Parangkusumo. Sementara tanah bukan
keprabon merupakan tanah yang belum terikat alas hak.
Di sisi
lain menurut Penghageng Tepas Panitikismo Kraton Yogyakarta, KGPH Hadiwinoto bahwa
dengandisahkannya Undang-Undang Keistimewaan (UUK) dan Peraturan Daerah
Keistimewaan (Perdais) memberikan kejelasan mengenai pengelolaan tanah
Kasultanan atau Kadipaten.
Demikian
pula, lembaga yang berwenang menanganinya juga telah ditentukan. Apabila ada
lembaga lain, maka itu tidak dibenarkan.
Menurutnya,
secara legal, keberadaan lembaga lain selain Panitikismo tidak dibenarkan.
"Yang
mendapatkan hak berdasarkan UUK adalah Lembaga Kasultanan yakni Panitikismo.
Kalau ada yang lain itu tidak benar. Setelah pengesahan UUK dan Perdais ini,
kami akan segera melakukan upaya lebih jelas kepada oknum-oknum yang melakukan
hal seperti itu. Tidak hanya yang mengatasnamakan HB VII, namun juga yang
lain," katanya di ruang kerjanya.
Agar tidak
menimbulkan keresahan di masyarakat mengenai masalah pertanahan dan tata ruang,
menurut KGPH Hadiwinoto, UUK dan Perdais sudah menyatakan dengan jelas.
Karena itu,
keberadaan Panitikismo pun sudah memiliki dasar secara hukum.
Namun
demikian, kepada masyarakat yang ingin memanfaatkan tanah Sultan Ground,
sebelum lebih jauh melangkah ia meminta masyarakat untuk teliti.
Cek dan
ricek di Badan Pertanahan Nasional penting untuk mengetahui status suatu tanah.
"Sebab,
di situ ada peta yang jelas menggambarkan mana yang Sultan Ground
mana yang bukan. Di DIY ini, mencari status tanah tidak sulit. Yang jelas,
tidak ada tanah Kraton yang dikelola yayasan-yayasan yang mengatasnamakan
Kasultanan. Kalau ada yang mengaku seperti itu, jelas tidak sesuai UUK maupun
Perdais," terangnya.
Kepada masyarakat yang menempati tanah Sultan Ground,
Gusti Hadi mendorong masyarakat segera mengurusnya ke Panitikismo. Dengan demikian,
status tanah yang ditempati menjadi jelas.
Tunggu penelusuran lebih lanjut tim redaksi suarakpk yang akan diterbitkan dalam Surat Kabar Investigasi SUARAKPK di edisi 61 ke depan. (Imam/red)
Apakah benar saat ini ditahun 2020 pihak dari keraton panitikisma memberikan tugas ke kelurahan untuk mematok tanah sg.karena didesa Tamantirto kasihan bantul banyak sekali tanah dikapling diperjualbelikan ke orang lain. Padahal area SG sudah ada tanda papan untuk penghijaun .supaya masyarakat desa bisa bercocok tanam dan memanfaatkan lingkungan hidup untuk kesejahteraan masyarakat desa. Mohon himbauan ditindak lanjuti kepada pihak keraton . Bila mana ada perangkat oknum yg hanya mementing dirinya. Dampak pemanasan global akibat perusakan lingkungan hidup harus dicegah. Terimakasih
BalasHapus